Kamis, 13 Desember 2012

Polri Waspadai Teror Bom Menjelang Natal dan Tahun Baru


Mulai 23 Desember 2012 hingga 1 Januari 2013, Kepolisian Republik Indonesia akan menggelar Operasi Lilin menjelang perayaan Natal 2012 dan Tahun Baru 2013. Menjelang Natal, kepolisian siap melakukan pengamanan pada 38.499 gereja di seluruh Indonesia.

Pada kesempatan itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengingatkan kemungkinan gangguan keamanan saat perayaan hari raya Natal 2012 dan Tahun Baru 2013. “Salah satu ancaman di dalam pelaksanaan Natal dan Tahun Baru adalah ancaman teror,” ujar Timur seusai membuka rapat koordinasi Operasi Lilin di Wisma Bhayangkari, Senin (10/12/2012) seperti dilansir VIVAnews.com

Kendati demikian ia menegaskan, masyarakat tidak perlu khawatir. “Artinya kita punya pengalaman seperti itu, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir, karena Polri dibantu TNI dan aparat keamanan lainnya melakukan langkah-langkah pencegahan sehingga masyarakat bisa tenang dalam melaksanakan perayaan Natal maupun kegiatan Tahun Baru,” jelasnya.

Kepolisian telah melakukan evaluasi dari pengamanan tahun lalu dan akan meningkatkan pelayanan masyarakat.

Dalam Operasi Lilin tersebut, Polri mengerahkan 82.633 personel ditambah personel TNI. Pos pengamanan disebar di 1.887 titik dan 754 pos pelayanan. Personel juga disebar di terminal, pelabuhan, bandara udara, dan stasiun kereta api. Kemudian 2.606 pusat perbelanjaan dan 2.316 tempat wisata masuk dalam pengamanan.

“Intinya kita memberikan pelayanan masyarakat dalam rangka kegiatan keagamaan di gereja-gereja pada malam Natal,” ujar Timur seperti dikutip kompas.com.

Ia juga meminta masyarakat aktif membantu mengamankan wilayah sekitarnya.

Mantan Kapolda Metro Jaya itu menambahkan, titik-titik yang menjadi fokus dalam operasi lilin 2012 itu antara lain semua gereja di wilayah Indonesia. Sedangkan untuk tahun baru, jalur-jalur berkaitan dengan libur tahun baru seperti pantura, jalur selatan, dan lainnya. “Itu menjadi pengamanan utama yang nanti akan dibicarakan pada rakor ini,” kata dia.

Timur menjamin, perayaan Natal dan Tahun Baru tahun ini akan berjalan aman. Karena Polri dengan TNI akan melakukan upaya melakukan tindakan-tindakan pencegahan menghadapi semua aksi teror. 

Radikalisme dan Intoleransi Lebih Bahaya dari Terorisme



Aksi radikalisme berbasis agama dan intoleransi masih kerap terjadi di negeri ini. Dengan mengatasnamakan agama sekelompok organisasi tertentu melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok lain yang dianggapnya sesat dan merusak akidah umat Islam. Radikalisme dan intoleransi tersebut tentu mengganggu tatanan kehidupan berbangsa.

Peneliti Setara Institut Ismail Hasani mengatakan dari perspektif gerakan sosial radikalisme dan intoleransi lebih berbahaya daripada terorisme. Menurutnya, radikalisme dan intoleransi berpotensi memperoleh dukungan besar dari masyarakat karena beroperasi di zona aman.

“Kalau ditanya apakah anda setuju dengan operasi antimaksiat yang dilakukan FPI, maka sebagian orang pasti setuju karena orang Islam antimaksiat. Tapi kalau terorisme semua orang sudah verb tidak ada yang mendukungnya. Dan dari berbagai survei dukungan terhadap terorisme kecil,” ujar Ismail saat berbincang dengan Lazuardi Birru.

Ia mengatakan penanganan terorisme sudah jelas karena kerangka hukumnya sudah jelas, sementara radikalisme dan intoleransi kerangka hukumnya tidak pasti. Dalam penanganan terorisme kita hanya mendorong dan mengawal negara untuk menegakkan hukum dan rasa aman bagi warganya.

“Radikalisme dan intoleransi harus mendapatkan penanganan lebih, sedangkan kalau terorisme semua perangkat penanganannya sudah jelas. Radikalisme dan intoleransi lebih berbahaya karena tangga untuk menuju terorisme,” tandasnya.

Menurut dia jika pemerintah hanya memberikan perhatian pada terorisme, sedangkan radikalisme dan intoleransi tidak diperhatikan maka itu sama saja pemerintah menjadi pemadam kebakaran. Pemerintah hanya menungggu kapan kebakaran terjadi, tapi tak mau mengatasi aspek hulu yaitu ideologinya.

Kekerasan Tak Bisa Selesaikan Masalah


Direktur Pais Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Dr. Amin Haedari, M.Pd mengatakan, kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Apalagi pola-pola yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang menggunakan teror dan pengeboman.

“Sebetulnya dengan adanya kelompok teror, masalah yang kita hadapi tidak akan pernah selesai. Mereka melakukan kekerasan selalu menggunakan legitimasi agama, padahal kita dianjurkan untuk mengajarkan agama dengan hikmah,” kata Amin pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

“Kita dianjurkan untuk mengajarkan agama dengan hikmah, dengan lemah lembut, dengan tutur kata yang santun,” imbuhnya.

Menurut Amin, apa yang dilakukan oleh kelompok yang senang menggunakan kekerasan dalam mengajak pada kebaikan merupakan kesalahan fatal. “Kalau ada orang yang tidak sepaham, kemudian diselesaikan dengan cara kekerasan, saya kira itu pemahaman yang keliru,” ungkapnya.

Karena itu, ia berharap agar tidak menjadikan kekerasan sebagai solusi. Menurut dia, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini. Misalnya dengan cara dialog dan memberikan tauladan yang baik.

Ia menghimbau pada semua elemen masyarakat agar tidak mudah terprovokasi, dan menganggap kekerasan sebagai solusi. Menurut dia, kekerasan hanya akan menimbulkan masalah baru, dan tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Tanggulangi Radikalisme, Peran Ormas Sangat Penting


Organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, dan ormas lain mempunyai peran yang sangat penting dan vital di masyarakat. Tak terkecuali dalam menangani radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan Dosen Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ainul Yaqin pada Lazuardi Birru. “Saya pikir sangat penting untuk bekerja sama dengan ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis dan lain sebagainya,” kata Yaqin.

Menurut dia, ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiya tersebut mempunyai institusi pendidikan yang luar biasa besar. Lembaga pendidikan tersebut bisa maksimal untuk membangun karakter generasi muda agar tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran negatif, termasuk juga ideologi yang berpotensi untuk melakukan tindakan teror.

“Peran ormas ini tidak bisa dianggap kecil. Dengan bekerja sama dengan ormas-ormas ini bisa melakukan pendekatan dan upaya yang sangat efektif,” ungkapnya.

Bahkan, kata Yaqin, pada ormas atau kelompok yang selama ini dianggap bersebrangan atau dianggap radikal, pemerintah juga harus menggandengnya. “Kalau pemerintah melakukan pendekatan yang baik dan kontinyu, saya kira mereka juga bisa diajak berkerja sama,” kata Yaqin menjelaskan.

Pancasila Perekat Bangsa yang Beragam


Pancasila sebagai ideologi merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Sebagai sebuah konsensus, Pancasila merupakan perekat bangsa yang beragam. Hal tersebut diungkapkan Direktur Pais Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Dr. Amin Haedari, M.Pd.

Menurut Amin, Pancasila merupakan cerminan dari keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Negara yang dibangun di atas perbedaan suku, budaya, bahasa, agama, bahkan kepercayaan ini, tetap menjadi satu kesatuan di bawah naungan NKRI. “Pancasila ini juga tidak bertentangan dengan agama,” tegas Amin pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Ia mencontohkan misalnya sila pertama pada Pancasila. Menurut Amin, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. “Agama (Islam) juga mengajarkan kita untuk beragama dan beriman pada Tuhan. Begitu juga dengan sila-sila lain yang ada dalam Pancasila,” ungkapnya.

Selanjutnya sila tentang keadilan sosial. Menurut dia, agama juga sama mengajarkan tentang keadilan sosial ini. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang di dalamnya juga ada konsep demokrasi juga selaras dengan Islam sangat menjunjung demokrasi. Bahkan sebetulnya tidak ada agama lain atau kelompok lain yang lebih demokratis dari Islam,” demikian Amin menjelaskan.

Lebih lanjut Amin mengatakan, dalam Pancasila ada sila tentang “kemanusian yang adil dan beradab”. Pada sila ini, kita harus menghargai sesama manusia. Tidak hanya bagi mereka yang seiman, tatapi sesama manusia secara luas. Dalam Alquran, kata Amin, banyak ayat yang dimulai dengan awalan Ya Ayyuhannas, itu adalah manusia semuanya. Bukan Ya Ayyuhal Ladzina Amanu saja. “Pancasila dengan agama tidak bertentangan, saling mendukung, dan saling memperkuat,” tegasnya

Terorisme Adalah Musuh Bersama

Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam harus menjadikan terorisme sebagai musuh bersama. Seruan itu diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj.

“Tidak mungkin kita menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain,” katanya saat menjadi pembicara dalam Talk Show bertajuk “Peran Ulama, Umaro, dan Umat Dalam Mencegah Terorisme Guna Menciptakan Kamtibmas yang Kondusif” yang digelar Kepolisian Resor Banyumas di Hotel Aston Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu malam (12/12/2012).

Menurut dia, manusia memiliki tugas mewujudkan keharmonisan meskipun mereka berbeda agama, suku, dan bangsa. Islam adalah agama yang membawa moral dan antikekerasan sehingga tidak boleh ada dakwah dengan kekerasan.

“Nabi Muhammad Saw tidak pernah menyuruh kaumnya untuk merusak berhala maupun mengganggu umat Nasrani. Pemeluk Nasrani tetap mendapat perlindungan. Semua penduduk Kota Madinah diperlakukan sama oleh Nabi Muhammad,” katanya.

Menurut dia, orang-orang yang berbeda agama bukan merupakan musuh kecuali yang melanggar hukum.

“Yang boleh menjadi musuh bersama adalah orang-orang yang melanggar hukum. Pengedar narkoba musuh bersama, pejabat yang korupsi itu musuh bersama,” kata dia menegaskan.

Lebih jauh Kiai Said menandaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah memproklamirkan negara Islam, yang ada adalah Negara Madinah. Karena itu, lanjutnya, Indonesia tak perlu menjadi  Negara Islam, yang terpenting adalah nilai-nilai Islam berlaku di bumi Indonesia. Kendati demikian, tandas Said, membela NKRI merupakan bagian dari jihad.

Dalam kesempatan itu, Said mengajak umat Islam untuk mewujudkan masyarakat yang beriman kepada Allah dengan melaksanakan ibadah sehingga dapat menjadi manusia yang berakhlak.

Usai acara, kepada wartawan Said Aqil mengatakan, aksi terorisme dapat dipicu oleh faktor pengangguran dan kemiskinan. “Pengangguran, kemiskinan, dan keterbelakangan, atau ada keinginan balas dendam tetapi tidak tahu siapa yang akan dibalas sehingga menjadi teroris,” katanya.

Menurut dia, ada teroris maupun tidak ada teroris, kiai harus menjadikan masyarakat untuk tidak radikal.