Kamis, 14 Juni 2012

Pengedar Uang Palsu di Banyuwangi Dibekuk


Banyuwangi: Polisi menangkap tiga pengedar uang palsu di Banyuwangi, Jawa Timur. Polisi pun menyita barang bukti berupa uang palsu pecahan Rp100 ribu senilai Rp65,4 juta, dua mobil, dan ponsel.


Penangkapan bermula dari aksi polisi yang memancing satu pelaku. Polisi mengajak pelaku bertransaksi jual beli di Pelabuhan Jangkar Situbondo.


Setelah bertemu, polisi lalu menangkap pelaku. Polisi lalu mengembangkan kasus hingga akhirnya menangkap dua tersangka lain di SPBU Sempolan, Jember.

Rabu, 13 Juni 2012

”Pelajar jadi Teroris Karena Pemahaman Agamanya Kurang”


Ada beberapa tanggapan yang mengklaim bahwa isu teroris sengaja dihembuskan oleh Polri untuk mengalihkan isu sensitif yang beberapa pekan ini mengganggu kredibilitas pemerintah di mata publik terkait kasus mafia hukum .

Ada juga tanggapan dari beberapa siswa saya yang kebetulan kenal dengan para tersangka teroris itu mengatakan bahwa mereka merupakan siswa yang baik, tidak nakal dan pendiam, beberapa guru yang saya hubungi juga membenarkan berita itu .


Lantas mengapa para pelajar dapat terjebak dalam kegiatan terorisme ?

Menurut Polri, “Mereka kan memang anak-anak remaja yang pemahaman agamanya kurang. Sehingga, doktrin-doktrin mereka itu seolah-olah benar. Karena, dasar agamanya kan masih belum cukup ya, dan ekonominya memang lemah,” ucap Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen Anton Bahrul Alam, usai salat Jumat, di Mabes Polri, Jumat, (28/1) melalui Media Indonesia.

Patut dicermati pernyataan di atas,  karena jika apa yang disampaikan oleh Kepala Divisi Humas Mabes Polri Irjen itu benar , maka sekolah ikut bertanggung jawab . Sebenarnya bagaimana pemahaman agama di sekolah ?

Selama ini upaya pengembangan terorisme di Indonesia  melalui 2 cara yaitu agama dan pendidikan. Mereka memanfaatkan agama sebagai kedok untuk menebar ancaman melalui doktrin untuk memusuhi agama lain dengan dalih apa yang mereka lakukan adalah benar menurut agama yang dianutnya .

Masalahnya apakah pendidikan agama yang diperoleh di sekolah belum cukup untuk membentengi siswa dalam menangkal kegiatan terorisme ?

Dalam Standar isi (Permen Diknas no 22 tahun 2006 ) sebagai pedoman pelaksanaan kurikulum di Indonesia  saat ini  , Pendidikan Agama bertujuan untuk:

mewujudkan manuasia Indonesia yang taat beragama dan berakhlak mulia yaitu manusia yang berpengetahuan,rajin beribadah,cerdas,produktif, jujur, adil,etis,berdisiplin,bertoleransi menjaga keharmonisan secara personal dan sosial serta mengembangkan budaya agama dalam komunitas sekolah.( tujuan Pendidikan secara Umum)
Menumbuh kembangkan akidah melalui pemberian,pemupukan,dan pengembangan pengetahuan, penghayatan, pengamalan,pembiasaan,serta pengalaman peserta didik tentang Agama Islam sehingga menjadi manusia muslim yang terus berkembang keimanan dan ketakwaannya kepada Allah SWT( tujuan pendidikan Agama islam)
Di lihat dari tujuan pendidikan Agama diatas jika di sekolah, kurikulum sudah diterapkan sesuai tujuan seharusnya sudah bisa membentengi siswa untuk tidak memilih jadi teoris. Hanya saja apakah di sekolah pembelajaran pendidikan Agama sudah sesuai tujuan ?

Banyak terjadi di lapangan , pemahaman agama oleh siswa masih bersifat kognitif , secara teori mereka sudah tahu. Karena selama ini guru sudah banyak memberikan teori yang cukup untuk itu .Kemudian penghayatan,pengamalan,pembiasaan,serta pengalaman siswa tentang Agama sehingga menjadi manusia muslim ini yang belum diporsi yang cukup di sekolah .Kebanyakan para guru masih terjebak dalam pemberian materi belum sampai ke ranah implikasinya .

Bagiamana solusinya ?

Banyak usulan untuk menambahkan mata pelajaran anti terorisme , Jika usulan ini dipilih selain harus menambah jam pelajaran juga akan menambah beban belajar siswa. Kita tahu beban pelajaran yang harus diterima di Indonesia maish tergolong tinggi dibandingkan dengan negara lain .

Pilihan terbaik adalah dalam pelajaran agama menggunakan pendekatan tematik (topic ) dalam pembelajaran di kelas .Pembelajaran tematik adalah pembelejaran yang menggunakan topic yang berupa kejadian yang terjadi di Lingkungan masyarakat untuk mengaitkan materi yang akan dipelajari siswa ( depdikans ,2006).

Sebagai contoh dalam memberikan materi pendidikan agama Semestinya dapat menggunakan tema terorisme dalam pembelajaran kemudian guru dapat mengkaitkan bagaimana teori teori agama yang tepat untuk membahas itu . Melalui sharing, antara siswa dan guru dapat belajar bersama bagaimana mensikapi teroris itu secara benar .

Dengan demikian siswapun akan secara kontekstual (nyata) dapat menyambungkan antara teori dan kenyataan yang terjadi di lapangan .

Selasa, 12 Juni 2012

Gafatar, Organisasi Mirip NII Terus Berkembang


Kupang- Setelah divonisnya Panji Gumilang, kini gerakan yang identik dengan NII yang mengatasnamakan gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) terus berkembang.

Kepala Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol Linmas) NTT, Sisilia Sona, mengatakan organisasi Gafatar di NTT tidak terdaftar di lembaganya. "Saya juga baru dengar organisasi itu. Jadi aktivitas organisasi tersebut menyimpang," katanya kepada wartawan di Kupang, Jumat, 1 Juni 2012.

Gafatar, organisasi yang tidak terdaftar di Badan Kesatuan Bangsa Politik dan Perlindungan Masyarakat (Kesbangpol Linmas), disebut-sebut identik dengan Negara Islam Indonesia.

Gafatar adalah organisasi yang identik dengan gerakan NII, sehingga diminta kepada Kaban Kesbanpol Linmas di seluruh wilayah NTT untuk lebih berhati-hati dan melakukan pengawasan secara ketat.

Berdasarkan sumber yang diterima SuaraJabar.Com dari NII crisis center bahwa Gafatar ini pecahan NII pimpinan Ahmad Mushadiq alias Hilmy Mubasir yang terkenal dengan kenabiannya lewat gerakan Al Qiyadah Al Islamiyah, kini merubah nama gerakannya menjadi Komunitas Millah Abraham (komar). Gerakannya telah meresahkan di beberapa wilayah di Jawa. Usut punya usut, para pentolan komar kini menggunakan cover legal , yaitu ormas dengan mana Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara). 

Tahun 2012 ini gerakan gafatar  dengan menyambut fajar nusantara-nya mengusung konsep nasionalisme berlandaskan tafsir tentang nabi Ibraham yang konon para keturunannya akan menguasai nusantara.

Gerakan gafatar akan terus berlari kencang, bahkan para mantan aktifis NII Panji Gumilang  yang tersebar dimana-mana kini mulai menjadi incaran gerakannya.

Karena loyalitasnya, mentalitas militan yang mampu diasah serta mobilitas dan pengorbanan tinggi menjadi mesin yang akan mampu menggerakkan operasional gerakan. Sebagai contoh, gafatar kini yang sebagian besar petingginya adalah mantan NII Panji Gumilang.

Kedepan, gafatar tidak akan bisa dihentikan. Selain bungkusnya yang demokratis, perluasan jaringan anggota yang dimilikinya akan menjadi “kue” yang akan ditawar parpol besar untuk menambah pundi-pundi suaranya pada pemilu 2014 mendatang.
 [SuaraJabar.Com]

Senin, 11 Juni 2012

Mengapa Orang Jadi Teroris?


Indonesia rawan terorisme. Bukan hanya jadi sasaran teror, sekaligus tempat persemaian yang subur bagi teroris. Ini merupakan hal yang layak kita renungkan. Kondisi psikologis seperti apa yang mendorong orang-orang muda berusia produktif itu menjadi teroris?

Terorisme dapat diartikan sebagai gerakan suatu kelompok yang menggunakan kekerasan untuk mencapai tujuan. Bila demikian, berarti terorisme dapat berupa gerakan dari penguasa maupun dan rakyat, tanpa membedakan siapa sasarannya. 

Yang akan dibahas adalah terorisme dalam arti gerakan suatu kelompok bawah tanah yang dilandasi ideologi tertentu dalam melakukan perlawanan terhadap pemegang kekuasaan dengan melakukan aksi kekerasan atau ancaman terhadap keselamatan anggota masyarakat.

Pengungkapan kasus-kasus terorisme di Indonesia menunjukkan, banyak orang muda berhasil direkrut menjadi anggota kelompok teroris. Di beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah ditemukan fakta yang mengarah sebagai bukti adanya pembinaan terhadap orang-orang muda menjadi anggota teroris. 

Padahal, terorisme pada umumnya berkembang di daerah-daerah yang secara sosial politik mengalami konflik atau penindasan. Antara lain terorisme di Irlandia (masa konflik Inggris-Irlandia), terorisme dalam konflik Israel-Palestina. Daerah-daerah terjadinya separatisme, seperti Aceh beberapa waktu lalu, juga Papua, merupakan daerah yang rawan terorisme.

Bila kondisi sosial-politik tidak cukup kuat menjadi alasan berkembangnya aksi teror, kita perlu lebih sungguh-sungguh menengok kondisi sosial psikologis yang mungkin melatarbelakangi perkembangan kelompok teroris. Kita perlu ambil bagian dengan membangun kondisi psikologis yang mendukung orang-orang muda mengembangkan diri secara konstruktif, tanpa jalan kekerasan. 

Gambaran sekilas
Bila kita bayangkan, seorang teroris adalah sosok yang ambil bagian dalam penyerangan dengan senjata atau bom, entah sebagai penyusun strategi, perakit bom, pelaku penyerangan/peledakan, dan sebagainya. Mereka siap bertindak tanpa memedulikan penderitaan banyak orang yang menjadi korban.

Antara korban dengan teroris sejatinya tidak memiliki persoalan apa pun. Itulah yang kita saksikan dalam kasus, seperti bom Bali I dan II, dan pengeboman di Jakarta. Jadi siapakah sebenarnya musuh mereka? Tidak jelas.

Bila mereka bertindak dengan ideologi tertentu atas nama agama, adakah pihak yang menindas agama yang mereka bela? Bila ya, siapakah penindasnya? Mengapa mereka tidak langsung saja menyerang pihak-pihak yang secara riil menindas? Tampak bahwa mereka sebenarnya tidak berdaya berhadapan dengan musuh, sehingga menyerang pihak yang bukan semestinya.

Bahwa tindakan itu dibalut rasa kepahlawanan, mungkin hanya merupakan mekanisme psikologis yang mereka ciptakan sebagai kompensasi atas ketidakberdayaan yang dialami. Bahwa mereka bertindak menyerang dengan sasaran yang bukan musuh ril, berarti mereka menyerang lebih karena kondisi psikologis yang dikuasai rasa permusuhan, tanpa objek yang jelas. 

Dorongan agresi dahsyat yang terpendam mungkin berakar pada masa kecil yang banyak mengalami kekecewaan. Pelampiasan dorongan agresi dapat melalui saluran bermacam-macam. Namun, bahwa sebagian orang merasa cocok bergabung dengan kelompok teroris, ini menunjukkan bahwa dorongan agresi mereka berkaitan dengan kebutuhan tertentu, yang jawabannya mereka temukan dalam keanggotaan sebagai kelompok teroris. 

Menjawab kebutuhan?
Kekerasan merupakan ciri utama dari terorisme. Ciri lainnya adalah membentuk kelompok bawah tanah, menggunakan ideologi tertentu sebagai landasan gerakan, dan adanya perlawanan terhadap pemegang kekuasaan. Unsur-unsur ini mungkin merupakan jawaban atas kebutuhan psikologis orang-orang tertentu yang berpotensi jadi teroris.

Kelompok merupakan sumber harga diri bagi seseorang. Dengan bergabung dalam suatu kelompok, seseorang dapat memenuhi kebutuhan akan identitas sosial. Dengan demikian, kelompok menjadi sumber harga diri terutama bagi individu yang mengalami rasa keterasingan.

Dengan ideologi kuat disertai loyalitas yang tinggi terhadap pimpinan dan organisasi, anggota teroris akan mengalami suatu totalitas sebagai pribadi. Hal ini mungkin merupakan jawaban atas keadaan jiwanya yang semula mengalami kekaburan identitas, gambaran diri negatif, serta tak adanya figur atau institusi yang memungkinkan ia mengalami totalitas.

Seseorang merasa cocok menjadi anggota kelompok terorjis tentu karena terdapat kesesuaian antara misi kelompok dengan kebutuhan atau nilai-nilai pribadinya. Dengan melakukan perlawanan terhadap pemegang kekuasan melalui jalur bawah tanah, tampaknya ini merupakan saluran yang "tepat" bagi dorongan bawah sadar berupa tumpukan amarah terpendam terhadap figur pemegang otoritas. 

Perlawanan terhadap pemegang kekuasaan saat ini mungkin merupakan manifestasi kemarahan terpendam terhadap otoritas yang menindasnya pada masa kecil, yang mungkin saja adalah orangtua sendiri. 

Begitu banyak orang, bahkan banyak yang menyebut diri religius, tidak belajar pelajaran mencintai (termasuk berdoa untuk mengampuni) musuh-musuh mereka. Mereka malah membenci, menggugat, protes, dan menyingkirkan musuh mereka; menjadi teroris di dalam hati mereka sendiri, di komunitas mereka, dan akhirnya di dunia.

Jadi, pada akhirnya terorisme menunjuk pada satu kenyataan pahit kondisi psikologis. Satu-satunya masalah yang tidak terselesaikan adalah masalah menolak solusi. Tuntutan teroris politik tidak lain adalah meminta orang lain untuk mengakui "kesalahan" dan mengubah perilaku mereka. 

Bahkan, ketika terancam dengan perang dan kehancuran, ia akan menolak negosiasi karena negosiasi memerlukan kesediaan untuk meletakkan harga diri. Terjebak dalam masalah menolak solusi, ia menolak untuk menerima solusi nyata: bahwa ia sendiri harus hidup sesuai dengan nilai-nilai kejujuran dan integritas yang ia tuntut dari orang lain. 

Dalam penolakan, ia mencemarkan hal yang sangat diinginkannya. la mencemarkan cinta. Demikianlah, teroris yang paling menakutkan adalah teroris dalam hati kita sendiri.

Jumat, 08 Juni 2012

Perampok bersenpi satroni Alfamart Jatinegara


Kawanan perampok bersenjata api kembali menyatroni Alfamart. Kali ini giliran Alfamart di Jalan Otista 3 RT 2 RW 7 Cipinang Cempedak, Jatinegara, Jakarta Timur yang dirampok dinihari tadi. Uang puluhan juga digasak pelaku.

Saat kejadian di dalam ada empat orang yaitu Lutfi, Dani, Dwi, dan Agus. Mereka tak bisa berbuat banyak karena ditodong pistol dan golok. Lutfi dan Dani diminta mengambil uang di dalam brankas.

Setelah mendapatkan uang, pelaku langsung mengikat empat orang itu.  Para perampok kemudian mengikat Lutfi dan Dani di samping brankas, sedangkan Dwi dan Agus diikat di kamar.

Kanit Reskrim Polsek Jatinegara AKP Sukisno saat dikonfirmasi membenarkan adanya kejadian tersebut. Saat ini polisi masih memeriksa korban dan sejumlah saksi. "Sedang di BAP," katanya.

Kamis, 07 Juni 2012

Bersama Melawan Terorisme


Bom bunuh diri kembali mengguncang di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Solo (25/9/2011). Bom bunuh diri juga bergaung di Masjid Kepolisian Cirebon. Sungguh edan, tempat ibadah yang seharusnya dijaga dan dihormati dijadikan sasaran kekerasan dan antikemanusiaan. Sepertinya negeri ini sudah jadi langganan aksi kekerasan, kerusuhan, dan peledakan bom. 

Kalau akal sehat dan logika bekerja, dan pelakunya orang yang beragama, maka  semakin tidak pantas karena aksi kekerasan itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama. Jika publik marah pada pelaku dan kelompok yang terus menyebarkan teror bom, tentu tidak bisa disalahkan. Makanya harus ada tindakan konkret dan secara bersama melawan aksi teroris. Bukan hanya dibebankan kepada kepolisian dan aparat keamanan lainnya, semua elemen bangsa harus menyatukan sikap dan tindakan.
Hapus Kebencian

Sikap permisif sebagian kecil warga yang memberi ruang kepada kelompok yang diduga berpotensi menebar teror, harus segera diakhiri. Tanpa mereka sadari, provokasi dengan menyebarkan pengaruh kebencian, akan terus memicu dan melahirkan bibit baru untuk melakukan aksi kekerasan. 

Bahkan, ada kesan teman seagama pun sering dicurigai sebagai seteru lantaran dianggap tidak relevan dan sejalan dengan yang mereka yakini. Jika ini terus terjadi, rasa aman kita akan selalu terancam, padahal agama selalu mengajak pada keselamatan, apalagi kalau yang dicurigai itu tidak menyerang kita. 

Ketika paham kebencian terus menguasai alam pikiran, aksi kekerasan berupa bom bunuh diri akan terus berkembang dan susah dikendalikan. Harapan banyak pengamat, agar tokoh agama dan masyarakat turun langsung melakukan pembinaan kepada anak-anak muda yang potensial terjerumus pada aliran keras untuk melakukan teror, merupakan sebuah keniscayaan. Sudah saatnya fenomena aliran keras yang tumbuh subur diarahkan ke arah yang lebih berguna bagi kehidupan umat secara damai. 

Pemerintah harus menjadi pelopor, bukan hanya dipidatokan, agar semua komponen masyarakat dan aparat negara terkait untuk duduk bersama merumuskan pemahaman agama yang benar. Masyarakat diberi pemahaman agar bisa mengidentifikasi aliran apa saja yang bisa diikuti dan yang tidak. 

Termasuk identitas kelompok yang perlu dikaji karena sadar atau tidak, pemahaman �jihad� dengan melakukan aksi bom bunuh diri cenderung berkembang memengaruhi cara berpikir sebagian anak-anak muda. Fakta menunjukkan, para pelaku bom bunuh diri berusia muda akibat alam fikirnya sudah dirusak oleh pemahaman dan reaksi jihad secara keliru.    

Kita harus yakin, jika para tokoh agama, aparat keamanan, dan pemerintah mengambil inisiatif bagaimana menafikan kebencian sekaligus meluruskan pemahaman jihad yang benar, gerakan-gerakan radikal yang mengarah pada aksi teror akan bisa dikontrol dan diminimalkan. Bahkan, bisa dihentikan karena memutus mata rantai mereka tidak selalu efektif dengan tindakan kekerasan. 

Malah bisa dibalas dengan kekerasan yang jauh lebih mengerikan. Ketegasan memang tetap dibutuhkan melalu proses hukum yang objektif dan menjatuhan pidana yang setimpal sebagai upaya penjeraan, tetapi pendekatan dan pembinaan yang sering disebut �deradikalisasi� boleh jadi akan lebih efektif. 

Aspek yang juga penting diapresiasi, adalah bagaimana menekan ketidakadilan ekonomi, sosial, pendidikan religius dan intelektual secara komprehensif bagi anak-anak muda yang merasa tidak dilirik oleh negara. Membendung faham radikalisme yang mengarah pada berkembangnya aksi terorisme, butuh keseriusan. 

Tidak boleh secara parsial, karena dipastikan akan terus kalah langkah dari pergerakan mereka. Mematahkan aksi terorisme boleh jadi akan panjang dan tiada akhir jika penanganannya tidak tepat.

Pahami Isyarat 

Aksi bunuh diri dengan menenteng bom, patut diketahui dan difahami sebagai isyarat yang dikirim oleh mereka. Operasi memburu dan menangkapi para buron teroris disadari masih menyisakan titik lemah. Celah yang tidak disadari itulah yang kemudian dimanfaatkan. Ada yang menyebut akibat lemahnya deteksi dini oleh aparat intelijen, rendahnya hukuman yang dijatuhkan, atau pembinaan deradikalisasi yang tidak tepat oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Strategi melawan aksi teroris yang masih menonjolkan pendekatan represif bersenjata oleh Densus 88 Antiteror, boleh jadi tepat dalam kondisi tertentu. Operasi penggerebekan dan penangkapan buron teroris yang ditayangkan secara langsung oleh televisi, tentu ada manfaatnya pada situasi tertentu. 

Tetapi realitas menunjukkan, aksi bom tetap saja terjadi, yang menunjukkan bahwa perlu ada pola lain selain yang dilakukan Densus 88. Isyarat ini harus ditangkap, sebab sisi negatif dominasi pendekatan represif bisa memantik titik api kebencian dengan pola baru. 

Tersangka yang menjadi buron yang berhasil dilumpuhkan atau ditembak mati secara terbuka, bisa mereka pahami sebagai bentuk penganiayaan dan pembunuhan. Pola seperti itu dapat melahirkan rasa simpatik, bukan hanya dari kalangan mereka, mungkin saja bagi sebagian warga tertentu. Kesemuanya merupakan �isyarat� yang tidak boleh diabaikan begitu saja. 

Makanya, pendekatan �inovatif� layak dimunculkan dan secara bersama melakukan perlawanan. Objek yang akan ditangani juga perlu diperluas, tidak hanya terfokus pada mereka yang selama ini mejadi buron. Salah satunya, pendekatan kesejahteraan (ekonomi) dengan memberdayakan mereka yang dicurigai berpaham teroris.

Gagasan melawan aksi terorisme yang diawali dari penegakan hukum yang tegas, meredam akar ideologinya, kemudian melakukan pembinaan (deradikalisasi) dan menekan ketidakadilan, adalah sesuatu yang niscaya. Semua gagasan dan pendekatan harus dirangkai agar terintegrasi, dan melibatkan semua komponen masyarakat. 

Dominasi pendekatan represif tidak akan mampu menghabisi aksi teror mereka, karena terkait dengan paham dan ideologi. Apalagi jika dituding bahwa teroris terkait dengan Islam, seperti yang selama ini terjadi. Jika ini terus berkembang, terorisme tidak akan pernah tuntas dan akan terus mengancam keselamatan masyarakat

Rabu, 06 Juni 2012

Jihad Tak Hanya Perang


KH. Hasan Mutawakkil, Ketua Umum Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur

Banyak kelompok keagamaan yang memaknai jihad fi sabilillah sekadar sebagai peperangan terhadap kelompok kafir. Lebih ironis lagi, semua teroris di Indonesia mengklaim aksinya sebagai implementasi jihad. Pemahaman ini tidak sekadar mereduksi makna jihad namun salah mengimplementasikannya.

Menurut KH. Hasan Mutawakkil, Ketua Umum Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Timur, makna jihad sangat luas tidak sekadar jihad fil harbi (jihad dalam pertempuran). Bahkan mencari nafkah untuk keluarga itu juga bagian dari jihad.

Pengasuh Pondok Pesantren Zaenul Hasan Genggong Probolinggo ini mengutip kisah Sahabat Umar RA ketika berjalan bersama Rasulullah dan melihat seorang pemuda yang memikul makanan dari pasar, di mana fisiknya terlihat kuat dan gagah.

“Sahabat Umar lantas mengatakan, sayang anak muda yang fisiknya kuat seperti itu tidak mengikuti jihad di medan perang. Perkataan Sahabat Umar ini lantas didengar oleh Rasulullah SAW, dan beliau menyahuti, ‘ia mencukupi anak istrinya juga jihad.’ Kisah ini menunjukkan bahwa implementasi jihad bukan cuma perang,” ujar Kiai Hasan kepada Lazuardi Birru, Senin, 04 Juni 2012.

Pendapat senada dikatakan oleh Prof. Syafiq A Mughni, Ph.D, Mantan Ketua Umum Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur. Bagi dia, jihad adalah doktrin dalam Islam yang maknanya sangat luas. Hanya saja dalam perkembangannya, pada periode sejarah tertentu, istilah jihad diidentikkan dengan aksi yang sangat lekat dengan kekerasan.

“Namun hal itu tidak bisa menyempitkan makna jihad. Dalam sebuah hadis, Nabi mengatakan bahwa jihad yang paling besar sesungguhnya adalah kalimatul haqqi ‘inda  sulthonin jairin (mengatakan kebenaran di depan penguasa yang lalim). Jadi menyatakan kritik atau teguran terhadap penguasa yang menyalahgunakan amanat maka itu termasuk ekspresi jihad yang besar. Banyak ayat dalam Alquran yang juga menunjukkan bahwa jihad tidak selalu identik dengan aksi kekerasan,” tandas Syafiq yang kini menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Dalam hematnya, kelompok radikal dan teroris tidak bisa menangkap esensi dari ajaran Islam, sehingga menganggap bahwa sisi ajaran Islam yang paling penting adalah jihad dengan aksi kekerasan.

“Itu pemahaman yang one dimensional dari ajaran Islam yang tidak menggambarkan ajaran Islam secara keseluruhan,” terangnya

Senin, 04 Juni 2012

SIMULASI PENANGANAN AKSI TERORISME

SIMULASI PENANGANAN – Sejumlah polisi mengangkat korban selamat akibat ledakan mobil yang dilakukan oleh teroris saat simulasi penanggulangan kondisi krisis akibat serangan terorisme, di Pusat Pendidikan Zeni TNI Angkatan Darat di Bogor, Jabar. Kegiatan yang dilaksanakan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) tersebut untuk meningkatkan kemampuan petugas menangani korban selamat dan identifikasi masalah pascaserangan teroris.

Jumat, 01 Juni 2012

Pengeboman = Jihad???



Takfir atau mengkafirkan orang lain tanpa bukti yang dibenarkan oleh syari’at merupakan sikap ekstrim yang ujung-ujungnya adalah tertumpahnya darah kaum muslimin secara semena-mena. Berawal dari takfir dan berakhir dengan tafjir (peledakan). Majelis Hai’ah Kibar Al Ulama (Lembaga Perkumpulan Tokoh-Tokoh Ulama Saudi Arabia), pada pertemuannya yang ke-49 di Thaif telah mengkaji apa yang terjadi di banyak negeri Islam dan negeri lain, tentang takfir dan tafjir serta dampak yang ditimbulkan, baik berupa penumpahan darah maupun perusakan fasilitas-fasilitas umum. Beliau-beliau akhirnya menyampaikan penjelasan secara tertulis yang kami ringkas sebagai berikut.

Takfir (Menetapkan Hukum Kafir) Merupakan Hukum Syar’i
Seperti halnya penetapan hukum halal dan haram, maka penetapan hukum kafir juga harus dikembalikan kepada Alloh dan Rosul-Nya. Tidak setiap perkataan atau perbuatan yang disebut kufur berarti Kufur Akbar yang mengeluarkan (pelakunya) dari agama. Mengkafirkan seseorang tidak boleh dilakukan kecuali bila Al-Qur’an dan Sunnah telah membuktikan kekafirannya dengan bukti yang jelas, sehingga tidak cukup berdasarkan dugaan saja.
Itulah sebabnya Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam memperingatkan umatnya agar jangan sampai mengkafirkan orang yang tidak kafir. Beliau bersabda yang artinya, “Siapapun orangnya yang mengatakan kepada saudaranya ‘Hai Kafir’, maka perkataan itu akan mengenai salah satu diantara keduanya. Jika perkataan itu benar, (maka benar). Tetapi bila tidak, maka tuduhan itu akan kembali kepada diri orang yang mengatakannya.” (Muttafaq ‘alaih, dari Ibnu Umar)
Vonis kafir hanya bisa ditetapkan bila sebab-sebab serta syarat-syaratnya ada, dan faktor penghalangnya tidak ada. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan syarat-syarat tersebut yaitu bila orang tersebut: (1) Mengetahui atau memahami apa yang diucapkannya, maka bila ia (2) Dengan senang hati/ tidak terpaksa dan (3) Sengaja dalam mengucapkan apa yang dikatakannya; maka inilah yang perkataannya teranggap sebagai pembataal keislaman. Jadi bagaimana mungkin seorang mukmin lancang menetapkan hukum kafir hanya berdasarkan dugaan??
Apabila ternyata tuduhan kafir ini ditujukan kepada para penguasa (muslim), maka persoalannya jelas lebih parah lagi. Akibatnya akan menimbulkan sikap pembangkangan terhadap penguasa, angkat senjata melawan mereka, kekacauan, menumpahkan darah dan membuat keonaran di tengah-tengah masyarakat. Karena itu Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam melarang pemberontakan kepada penguasa. Beliau shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda: “….kecuali bila kalian lihat kekafiran yang nyata, yang tentangnya kalian memiliki bukti yang jelas dari Allah.” (Muttafaq ‘alaih, dari ‘Ubaidah)
Dampak Mudah Mengkafirkan
Yaitu menumpahkan darah, melanggar kehormatan orang lain, merampas harta milik orang-orang tertentu atau orang umum, peledakan tempat-tempat pemukiman serta angkutan-angkutan umum dan perusakan bangunan-bangunan. Kegiatan-kegiatan ini dan yang semisalnya adalah haram menurut syari’at berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin. Berkenaan dengan jiwa orang kafir yang berada dalam jaminan keamanan dari pemerintah, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda yang artinya, “Barangsiapa yang membunuh orang kafir yang berada dalam perjanjian (damai), maka ia tidak akan mencium baunya sorga.” (Muttafaq ‘alaih dari Abdullah bin Amr)

by: muslim.or.id