Kamis, 31 Januari 2013

Cegah Terjadinya Teror, Semua Elemen Harus Bersinergi


Civil society mempunyai peran yang sangat penting dan vital di masyarakat. Tak terkecuali dalam menangani kasus terorisme di Indonesia. Civil society sangat penting mengambil bagian dalam penanganan teroris yang sifatnya hardcore, mengadvokasi mantan napi teroris agar menjadi baik, dan merehabilitasi tersangka teroris yang salah tangkap, dan memfasilitasi mereka untuk kembali ke masyarakat dan berdinamika di dalamnya.

Psikolog Pendidikan Universitas Indonesia (UI), Dr. Tjut Rifameutia mengatakan, persoalan radikalisme dan terorisme merupakan problem bangsa yang harus disikapi oleh berbagai elemen, mulai civil society, lembaga pemerintah, dan masyarakat secara keseluruhan. Dalam konteks ini semua elemen harus berisinergi untuk mencegah maraknya aksi kekerasan, khususnya terorisme sebagai tindakan kejahatan yang tidak berkeperimanusiaan.

“Dalam konteks melakukan pencegahan terjadinya tindakan radikalisme dan terorisme, semua elemen, khususnya lembaga pemerintah harus saling bersinergi, saling bahu-membahu,” kata dia pada Lazuardi Birru.

Sementara itu, Direktur Program Pusham (Pusat Studi Hak Asasi Manusia) UII, Eko Prasetyo mengatakan, sudah seharusnya masyarakat dan civil society berperan aktif dalam menangani persoalan radikalisme dan terorisme. “Kita perlu memaksimalkan segala potensi yang ada, seperti civil society yang mempunyai jaringan internasional,” kata Eko pada Lazuardi Birru.

Menurut dia, civil society yang mempunyai jaringan internasional juga harus terlibat di ruang ini. Sehingga apa yang terjadi di banyak tempat itu bukan semata-mata tugas Interpol atau penegak hukum semata. “Civil society yang mempunyai jaringan internasional yang kuat bisa mengangkat persoalan ini menjadi persoalan kemanusiaan yang lebih besar,” kata dia.

Selama ini, Eko menilai, peran civil society ditingkatan internasional kurang maksimal. Penanganan terorisme secara internasional cenderung represif karena hanya melibatkan Interpol. Semestinya, lanjut Eko, lembaga civil society menjadikan isu ini sama dengan isu lingkungan, semua orang bekerja karena ini merupakan problem kemanusiaan yang besar.

Menjadikan Orang Radikal Cukup Sehari, Menyembuhkannya Butuh Setahun


Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz, Ketua Asosiasi Profesi Da’i Indonesia
Inti progam deradikalisasi yang sedang digalakkan oleh pemerintah adalah mengubah paham radikal berbasis agama yang tertanam dalam diri seseorang menjadi pemahaman moderat. Namun hal itu diakui oleh banyak kalangan sangat tidak mudah.

Menurut Prof. Dr. KH. M. Ali Aziz, Ketua Asosiasi Profesi Da’i Indonesia, menyulut seseorang untuk melakukan kekerasan itu jauh lebih mudah ketimbang melunakkan pandangan kekerasan yang sudah terpatri pada diri individu.

“Jika Anda ingin membakar semangat orang untuk perang, maka bacakan saja kepada mereka ayat-ayat dan hadis-hadis yang berbicara soal jihad dalam arti perang,” ujarnya kepada Lazuardi Birru.

Guru Besar Fakultas Dakwah IAIN Sunan Ampel Surabaya itu menyontohkan, Qs. Ali Imran ayat 142 di mana Allah berfirman “Apakah kalian menyangka bahwa kalian ini akan masuk surga. Sedangkan Allah belum mengetahui siapa di antara kalian yang akan berjihad dan siapa yang bersabar?”

Atau Qs. At-Taubah ayat 24 “Jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, istri-istri, keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatirkan kerugiannya, dan rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan Rasul-Nya, dan berjihad di jalan-Nya maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya.” Inti ayat tersebut menyatakan, jika keluargamu tidak bisa diajak kompromi, ya tinggalkan saja.

“Jika ayat-ayat tersebut digunakan untuk membakar semangat orang yang pemahaman keagamaannya masih dangkal apalagi secara ekonomi lemah, maka mereka akan sangat mudah sekali tersulut gairahnya untuk melakukan kekerasan,” ungkap Api.

Orang yang pengetahuan agamanya masih lemah, lanjut Ali, tidak mengerti bahwa ayat-ayat itu diturunkan dalam situsi umat Islam sedang berperang untuk menegakkan hak-haknya yang tertindas oleh kezaliman kaum kafir.

“Mereka belajar agama berbasis semangat jihad bukan dalam kerangka telaah akademis. Karena itulah jarang sekali alumni pondok pesantren tradisional yang terlibat dalam aksi teror. Sebab mereka mengerti situasi dan kondisi seperti apa ayat itu dapat dipraktikkan,” paparnya.

Ia mengibaratkan, menjadikan orang radikal itu cukup sehari, namun menyembuhkannya itu membutuhkan waktu setahun.

“Meyakinkan bahwa tafsir ayat tersebut tidak menyuruh orang untuk berjihad kapan saja, itu tidak mudah. Mereka bisa menjawab, “Itu kan tafsirnya. Tapi teks ayatnya mengatakan begitu kok.” Mengarahkan orang menjadi keras itu gampang apalagi jika sudah memendam bibit masalah, terutama ekonomi,” tandasnya.

Lebih lanjut Ali menandaskan, tugas deradikalisasi bukan cuma kewajiban pemerintah. Ormas Islam moderat, khususnya NU dan Muhammadiyah juga harus terlibat dalam tugas ini.

“Masalah bangsa ini sangat banyak, memang sudah semestinya NU dan Muhammadiyah harus berperan membantu pemerintah. Alhamdulillah saat ini ceramah-ceramah keagamaan sudah didominasi oleh pendakwah-pendakwah yang moderat, meski yang radikal juga masih cukup banyak,” tutupnya.

Selasa, 22 Januari 2013

Fenomena Radikalisme Islam Kian Terdiseminasi


Fenomena radikalisme agama belakangan semakin mengkhawatirkan. Menurut peneliti Setara Institute, Ismail Hasani, penyebaran pandangan radikal semula dimonopoli oleh kelompok-kelompok tertentu, tapi saat ini menyebar ke kelompok lain dan masuk ke elemen masyarakat.

Perkembangan baru ini membuat berbagai kalangan sulit untuk melakukan identifikasi aktor di belakang fenomena radikalisme yang bertebaran di Indonesia.

“Pada 2-3 tahun lalu aktor atau pelaku kekerasan terhadap berbagai macam perbedaan mudah diidentifikasi, tapi sekarang agak sulit diidentifikasi. Pada umumnya mereka mengatasnamakan masyarakat. Ini satu gejala yang tak lazim, sebelumnya mereka adalah kelompok yang terkonsentrasi dan teridentifikasi tapi kini menyebar” ungkap Ismail Hasani.

Ismail Hasani menambahkan bahwa kondisi semacam ini mengindikasikan bahwa intoleransi dan radikalisme telah sukses menyebarkan virus ke kelompok lain. Namun peneliti Setara Institute ini juga menilai aktor-aktor lama masih berpengaruh dalam gerakan radikalisme Islam akhir-akhir ini.

“Aktor-aktor lama masih ada dan berperan aktif tapi kaderisasi berlanjut sedemikian rupa. Penyebaran aktor terjadi tidak mulu didominiasi yang lama tapi muncul kelompok baru. Seperti gerakan sosial pada umumnya metamorfosis dari kelompok ini juga terjadi” tambahnya. 

Kelompok Radikal Kecil Tapi Rencananya Besar

Ilustrasi Bendera Nii

Secara kuantitas, kelompok muslim radikal sangat kecil dibandingkan muslim moderat yang berwatak toleran. Namun mereka memiliki rencana besar yakni menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Saat ini kelompok radikal gencar menyerukan penerapan syariat Islam untuk diformalkan menjadi dasar negara.

Hal ini diungkapkan oleh Direktur Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Prof. Dr. Irfan Idris, dalam seminar Pengembangan Paham Keagamaan yang Moderat dan Toleran yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Tengah di Semarang, Minggu (20/1/2013).

Menurut dia, kelompok radikal biasanya merekrut kalangan muda, lantas mengajarkan mereka kebencian kepada pemerintah, menolak Pancasila dan UUD 1945, serta mengharamkan upacara bendera. Solusi yang diajukan adalah formalisasi syariat Islam dan mengubah Indonesia menjadi Negara Islam.

“Kaum muda diajarkan untuk tidak bisa menerima perbedaan paham dengan orang lain, serta menganggap diri dan kelompoknya yang paling benar, lainnya dianggap kafir. Kondisi ini harus segera disikapi semua pihak,” tandas Irfan.

Padahal, lanjut dia, Indonesia yang dihuni beraneka ragam suku bangsa, agama, dan ras telah menetapkan Pancasila sebagai dasar negara dengan berlandaskan konstitusi UUD 1945.

”Menegakkan syariat Islam sebenarnya tak perlu harus secara konstitusional, apalagi melalui kekerasan. Sebab selama ini umat muslim di Indonesia dapat melaksanakan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari tanpa hambatan,” ungkapnya.

Menghadapi permasalahan ini, dalam hemat Irfan, mestinya Nahlatul Ulama sebagai organisasi sosial keagamaan terbesar di Indonesia berperan penting menjaga nilai-nilai Islam yang terinternalisasi dengan kultur dan kebudayaan Indonesia. Karena itu, Irfan berharap NU tak tinggal diam dan melakukan gerakan.

”Warga NU jangan hanya menjadi silent majority, hanya diam, tapi harus tampil ke depan menghadapi kelompok muslim radikal ini,” ujarnya.

Dalam kesempatan itu, Irfan menuturkan, sejak 2000-2012, Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT) telah melakukan penahanan terhadap 810 orang yang diduga teroris. Sebagian di antaranya masih berusia muda.

Sementara Ketua Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Jateng, Abu Hafsin Umar dalam kesempatan sama menyatakan, kelompok muslim radikal terjebak pada politisasi agama. ”Agama dipolitisi agar gerakan kekerasan mereka mendapatkan justifikasi atau pembenaran,” papar dia.

Untuk mengatasinya, ujar Abu, adalah dengan mengikis munculnya benih kebencian terhadap orang lain yang berbeda agama maupun berbeda paham keagamaannya.

Sumber: solopos.com

Radikalisme dalam Beragama Penting, Tapi Radikalisme Cinta


Berbicara radikalisme agama, sesungguhnya agama menampilkan dua radikalisme. Yang pertama radikalisme kekerasan dan kedua radikalisme cinta. Pandangan ini disampaikan oleh agamawan Albertus Patty kepada Lazuardibirru beberapa waktu yang lalu.

Menurutnya radikalisme kekerasan menjadikan umat beragama melihat liyan dengan kacamata kebencian/permusuhan dan cenderung melakukan kekerasan. Sebaliknya radikalisme cinta yang juga dibawa oleh agama dapat dilihat dari sosok-sosok seperti Mahatma Gandhi, Nelson Mandela, Martin Luther King dan Gus Dur.

“Mereka dihajar, digebuk, dihantam tapi mereka tak membalas. Mereka selalu berbicara tentang cinta. Itu radikal.  Karena radikal itu asal katanya radic atau akar. Tak mungkin satu agama tak berakar, agama selalu punya akar. Bedanya yang satu akarnya cinta dan yang lain akarnya interpretasi kekerasan” ungkap Albertus Patty.

Albertus Patty menambahkan bahwa umat orang beragama harus menjadi radikal. Karena jika tidak radikal akan kehilangan akar. Namum yang dimaksudkan agamawan Protestan ini beragama radikal pada akar yang cinta, menciptakan keadilan, perdamaian bukan pada akar kekerasan.

Jumat, 11 Januari 2013

Kelompok-Kelompok Radikal Pasti Mengalami Perpecahan yang Konsisten


Radikalisme Islam di Indonesia punya akar sejarah yang cukup panjang dan bisa ditelurusi dari organisasi Islam yang lahir di awal kemerdekaan seperti DI/TII. Pernyataan tersebut dilontarkan Khamami Zada, Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta kepada Lazuardibirru beberapa waktu yang lalu.

Menurut Khamami Zada, dahulu banyak kalangan yang memahami bahwa radikalisme Islam di Indonesia berbeda dengan yang terjadi di Timur Tengah. “Artinya kalau Timur Tengah sudah menjurus ke terorisme, sedangkan Indonesia saat itu belum begitu Nampak” ungkapnya.

Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menambahkan bahwa meletusnya Bom Bali I menjadi antitesa pemahaman yang membedakan antara radikalisme di Indonesia dan Timur Tengah.

“Artinya sekarang ini watak radikalisme Islam di Indonesia sudah sama persis dengan Timur Tengah” lanjut Khamami Zada.

Meskipun organisasi-organisasi radikal atau teroris tampak solid dan militan, Khamami melihat bahwa justru kalangan radikal dan teroris selalu mengalami keterpecahan yang konsisten. Menurtunya mereka tidak bisa menjaga harmoni organisasinya, selalu terjadi perpecahan.

“Contohnya Abu Bakar Basyir mendirikan Majelis Mujahiddin Indonesia kemudian pecah menjadi Jamaah Anshorut Tauhid. Di Jogja ada FPI kemudian lahir Laskar Pembela Islam” ungkap Khamami.

Faktor yang mendorong disharmoni internal di kalangan kelompok-kelompok radikal, menurut Khamami Zada dikarenakan ketidakmampuan mereka dalam menghadapi perbedaan pendapat. Dengan kata lain, para radikalis dan teroris terlalu mengimani pendapatnya sendiri.

“Jadi apa yang menjadi pemahaman pemikiran mereka tentang agama dianggap sebagai teologi yang tidak bisa diubah, baku qoth’i sehingga orang lain yang berbeda pendapat dianggap salah. Konflik antara Irfan Sawas dan Abu Bakar Ba’asyir karena persoalan perbedaan pandangan saja. Tetapi kemudian satu pihak mengatakan misteologis dan dianggap akhirnya dianggap salah, lalu muncullah JAT” tuturnya.

Dalam Hubungan Sosial, Dahulukan Akhlak Ketimbang Akidah


Ironi rasanya ketika mendengar terjadinya konflik bernuansa agama. Terlebih lagi terjadi antarsesama muslim. Islam yang sudah bisa dipastikan mengajarkan nilai-nilai ultim seperti kebajikan dan kebijaksanaan tiba-tiba berubah menjadi pemicu kekerasan dan konflik.

Menurut Jalaluddin Rahmat, kondisi-kondisi intoleransi, kekerasan dan bahkan konflik tersebut terjadi lantaran umat Islam lebih mendahulukan akidah daripada akhlak.

“Sekarang saya akan mengatakan saya akan mendahulukan akhlak di atas akidah saya. Bukan di atas seluruh akidah. Tetapi di atas opini saya tentang akidah. Sesungguhnya tidak ada perbedaan akidah di antara muslim. Yang berbeda adalah pendapat mereka tentang akidah” ungkap kang Jalal.

Menurut Kang Jalal akidah itu ada yang Qoth’i yang artinya setiap muslim sepakat dengan hal itu. Misalnya Allah itu esa, setiap muslim sepakat dengan hal itu, tidak ada ruang untuk perbedaan. Tetapi terkait apakah Allah itu satunya dalam sifatnya, perbuatannya atau dalam dzatnya dan perbedaan-perbedaan lainnya sebagaimana dalam kalam misalnya itu bukanlah akidah melainkan pendapat atau opini tertentu tentang akidah.

Senada dengan hal itu, cendekiawan muslim, Emha Ainun Najib juga menyatakan bahwa dalam berhubung antarsesama manusia, yang dilihat itu akhlaknya, bukan aqidahnya. Aqidah seseorang tidak bisa diukur, maka jangan suka ribut-ribut masalah aqidah. Dari seburuk-buruknya orang, kita cari baiknya. Dari sebaik-baiknya orang, jangan dicari buruknya.

“Seluruh konflik-konflik keagamaan yang ada, karena kita sibuk ngurusi aqidah orang lain. Hanya Tuhan yang tahu akidahku, masyarakat yang membutuhkan akhlakku” ungkap Cak Nun.

Selasa, 08 Januari 2013

Pola Kehidupan Harmoni dan Toleran Tersebar hingga Pelosok Nusantara


Ironi sebenarnya jika praktek-praktek intoleransi atas nama apapun berkembang subur di Indonesia. Ini karena sejatinya begitu banyak pola-pola kehidupan toleran dan harmoni yang bisa dengan mudah ditemukan di berbagai kawasan nusantara. Dan fenomena ini bukanlah hal baru, melainkan sudah berakar semenjak kehidupan nenek moyang di nusantara.

Kehidupan masyarakat Bali bisa menjadi salah satu contohnya. Menurut salah satu tokoh lintas agama Bali, Drs. Ida Bagus Gede Wiyana, Bali adalah kota dengan berbagai macam unsur budaya, agama dan bahkan negara. Faktor yang membuat Bali memiliki begitu indah jalinan kerukun di antara penduduknya tidak lain karena filosofi hidup yang diimani bersama adalah meyame braye. Konsep hidup ini berasal dari istilah dalam bahasa Bali yang merujuk pada makna persaudaraan.

Contoh lain juga dalam kehidupan umat Islam di Nusantara. Seharusnya para radikalis dan teroris malu melihat sejarah Islam masa lalu yang begitu indah dan elegan sedemikian hingga sukses masuk ke bumi pertiwi yang mayoritas penduduk sebelumnya beragama Hindhu dan Budha. Islam masuk ke nusantara dengan jalan damai. Dan melalui strategi akulturasi yang dilakukan para walisongo misalnya, Islam menjadi agama yang tidak hanya bisa diterima tetapi juga tidak merusak tata dan pola kehidupan tertentu yang sudah mendarah daging di kalangan masyarakat waktu itu.

Maka tidak berlebihan jika ada yang melihat fenomena radikalisme dan terorisme sejatinya adalah diinjeksi dari pemahaman keagamaan dari luar. Menurut Ketua Umum Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) Said Aqil Siradj salah satu aliran Islam asing yang turut terlibat dalam proses radikalisasi muslim Indonesia adalah Wahabi. Bahkan pada titik tertentu Ajaran Wahabi bisa mendorong orang untuk melakukan aksi-aksi terorisme. Namun menurut Kyai Siad Aqil, hal ini bukan berarti bahwa Wahabi adalah teroris.

Gerakan Radikal dan Teroris Berbasis Agama hanya Berujung pada Kesia-siaan



Fenomena radikalisme dan terorisme masih menjadi hantu yang menggentayangi kehidupan berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi. Bahkan menurut beberapa laporan yang dirilis lembaga yang mengikuti isu keberagamaan di Indonesia kekerasan atas nama agama mengalami eskalasi di tahun 2012 lalu.

Tentu ini kabar buruk. Namun apabila menilik sejarah peradaban umat manusia, radikalisme agama pada umumnya berujung dengan kegagalan. Pernyataan ini di sampaikan oleh Buya Syafi’i Ma’arif, dalam kata pengantarnya di buku Teroris Membajak Islam.

Menurut Buya, kegagalan gerakan-gerakan radikal-teroris karena menggunakan filosofi kebencian dan fanatisme. Dan hal lain yang menjadikan kegagalannya semakin menjadi-jadi lantaran pendukung radikalisme agama tidak mempunyai modal untuk menawarkan perdamaian dan kesejahteraan.

Islam sama sekali tidak mengajarkan radikalisme dan terorisme. Dalil-dalil agama yang dikutip para radikalis dan teroris sejatinya merupakan pembajakan ajaran Islam. Sebuah penafsiran keagamaan yang dimotivasi oleh rasa dengki, dendam dan sifak-sifat buruk lainnya.

Adakah Mafia di Indonesia?


Istilah mafia sebagai organized crime group dan sebagai suatu kegiatan begitu populer di kalangan masyarakat dalam dan luar negeri. Dengan mudah kita memberi cap pada suatu kegiatan kolusi yang tidak sesuai dengan ketentuan adalah kegiatan mafia.

Kegiatan mafia ini sudah masuk ke berbagai sektor, sehingga dikenal berbagai istilah: mafia hukum/peradilan, mafia kehutanan, mafia batubara, mafia timah, mafia penyelundupan, mafia tanah, mafia anggaran, mafia tender, mafia perdagangan alutsista, mafia pajak, mafia kedokteran, mafia pendidikan,mafia jabatan, mafia perparkiran dan sekian banyak lagi mafia lainnya.

Layaknya mafia, mereka melakukan kegiatan secara rahasia, tetapi sangat menentukan di dalam pengambilan keputusan di berbagai bidang tersebut. Banyak kegiatan yang dipengaruhi mereka, sehingga seolah-olah kegiatan berbangsa, berusaha, dan bermasyarakat didominasi mereka.

Di sisi lain terkesan pemerintah/penegak hukum tidak berdaya menghadapi kegiatan mafia tersebut, mungkin karena adanya oknum yang bermain atau karena sebab lain. Apakah di Indonesia sudah benar ada mafia atau kegiatan seperti mafia? Akankah Indonesia menjadi negeri yang didominasi kegiatan mafia atau oleh para mafia dan bukan oleh diatur peraturan yang berlaku?

Mafia atau Kegiatan Seperti Mafia?

Kita harus membedakan antara mafia sebagai suatu organisasi kriminal dan mafia sebagai suatu aktivitas yang menyerupai aktivitas mafia yang dilakukan oleh siapa saja. Mafia adalah istilah yang berasal dari bahasa Italia,mafiusu atau mafioso, yaitu organisasi kriminal yang aslinya berasal dari Sisilia, Italia.

Nama lain dari mafia adalah “Cosa Nostra” yang artinya urusan kami atau milik kami. Mafia ini sudah ada sejak abad kesembilan belas di Sisilia/Italia. Istilah mafia sudah menjadi “nama generik” untuk jaringan kriminal yang terorganisasi dengan struktur, metode, dan kepentingan yang sama. Biasanya lingkungan masyarakat mafia bersifat tertutup. Biasanya juga mafia ini mencari uang dengan melakukan kegiatan melawan hukum seperti perdagangan narkotika, usaha perjudian, prostitusi, penyelundupan, penggelapan pajak, dll.

Mafia memiliki organisasi yang memiliki ketua dan aturan main. Mafia juga memiliki “omerta” yaitu etika untuk menutup mulut (kalau tertangkap) sehingga dengan sikap ini polisi kesulitan untuk mencari alat bukti, karena anggota mafia tidak mau memberikannya.Di berbagai negara dan bangsa, mafia ini ada dengan berbagai nama seperti yakuza (Jepang), triad (mafia China), Jewish mafia (mafia Yahudi), Sicilian mafia, camora, black hand, cosa nostra,dll.

Banyak pihak mengakui keberadaan mafia ini, atau kegiatan seperti mafia,termasuk pemerintah yang pernah membentuk Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum dengan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2009, tanggal 30 Desember 2009. Diduga karena berbagai tekanan politik, Satuan Tugas Pemberantasan Mafia Hukum tidak diteruskan keberadaannya sejak akhir Desember 2011 (hidupnya hanya 2 tahun).

Dapat ditambahkan, bahwa salah satu tugas Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 54/2009 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 10/2012 adalah memberantas mafia hukum. Di Indonesia juga terdapat organisasi atau perkumpulan orang yang memiliki pekerjaan sebagai penagih utang (debt collector), menjaga keamanan tanah dan bangunan, dll.

Mereka biasanya terdiri atas orang-orang yang berasal dari daerah tertentu atau yang memiliki persamaan nasib dan kepentingan. Ada kelompok yang berasal dari Ambon, Papua, Flores, Jakarta, dll. Kadang ada kelompok dari organisasi- organisasi macam ini yang melakukan kegiatannya melawan hukum.Ada kalanya organisasi ini bentrok satu sama lain karena kepentingan mereka terganggu.

Di tingkat internasional, ada United Nations Convention Against Transnational Organized Crime yang disahkan oleh Perserikatan Bangsa-bangsa pada 15 November 2000. Utamanya organisasi ini menargetkan area tertentu yang berhubungan dengan organized crime, yaitu perdagangan manusia khususnya wanita dan anak-anak, penyelundupan manusia melalui darat, laut dan udara, dan pembuatan serta perdagangan senjata secara tidak sah. Indonesia sudah meratifikasi konvensi ini pada 2009.

Konvensi ini menggambarkan organized crime group dengan beberapa kriteria: Pertama, kumpulan tiga orang atau lebih yang sengaja dibentuk.Kedua, ada selama periode waktu tertentu. Ketiga, melakukan tindak pidana yang diancam dengan hukuman minimal empat tahun penjara secara kolektif. Keempat, kelompok ini bertujuan langsung atau tidak langsung mencari keuntungan finansial atau keuntungan materi lainnya (Pasal 2 a).

Adapun istilah mafia hukum setidaknya sudah dikenal sejak tahun 1970-an dalam proses peradilan perkara korupsi yang melibatkan pejabat Depot Urusan Logistik, Kalimantan Timur.Dalam kasus ini pengacara terdakwa Budiaji, Sdr Sunarto Surodibroto, Ketua DPC Peradin Jakarta diberhentikan sementara karena dituding melakukan praktik mafia peradilan untuk membebaskan kliennya dengan segala cara.

Belum ada definisi mafia hukum yang disepakat bersama, tetapi Satuan Tugas Mafia Hukum mendefinisikan mafia hukum dengan praktik menjualbelikan atau menyalahgunakan kedudukan dan kewenangan yang dimiliki aparat penegak hukum dan hakim, baik yang sifatnya terorganisasi dan sistematis maupun yang tidak, yang dilakukan atas inisiatif aparat penegak hukum dan hakim atau atas bujukan pihak lain, sehingga hukum tidak ditegakkan sebagaimana mestinya.

Akar Permasalahan

Dalam sejarah mafia di Italia pada abad ke-19,lahirnya mafia terkait dengan upaya perlawanan orang-orang yang memiliki nasib yang samasama menderita terhadap tirani kaum feodal yang merupakan tuan tanah yang kaya raya. Kelompok inilah yang melahirkan adanya mafia. Mengingat banyaknya mafia, di Italia pernah dibentuk komisi khusus parlemen yang mengatur dan mengawasi masalah mafia.

Kemudian pada tahun 1946 dibentuk badan antimafia secara permanen. Di Indonesia lahirnya praktik mafia karena berbagai sebab. Pertama,adanya persamaan nasib dan kepentingan atau bertemunya kepentingan para anggotanya atau mereka yang bertransaksi, seperti geng motor. Kedua, di kalangan pemerintahan, terdapat kelemahan manajemen sumber daya manusia baik pada waktu rekrutmen, remunerasi, pendidikan, penempatan,mutasi, promosi, evaluasi kerja, dll di kalangan birokrasi pemerintahan, khususnya kalangan penegak hukum.

Ketiga, di kalangan pemerintahan, remunerasi, tunjangan, fasilitas serta anggaran operasional kurang memadai. Keempat, kurangnya pengawasan internal dan eksternal di kalangan birokrasi, khususnya di kalangan penegak hukum.Kelima, kelemahan di bidang penegakan hukum, karena gaji dan anggaran kecil,kurang transparan dan kontrol yang efektif. Keenam, kurang kepemimpinan yang kuat,tegas,kompeten dan memiliki reputasi yang baik di berbagai tingkatan organisasi. Kesemua penyebab itu melahirkan adanya penyimpangan yang berkelanjutan dan terorganisir oleh sekelompok orang yang melakukan kegiatan layaknya organisasi mafia.

Solusi

Walaupun eksistensi mafia sebagai sebuah organisasi kriminal belum jelas penampakannya, tetapi kegiatan yang menyerupai kegiatan mafia sudah lama ada.Karena itu, kegiatan seperti mafia itu harus diberantas, sehingga tidak menjadi permanen yang dapat melahirkan organisasi mafia. Untuk mencegah atau memberantas mafia sebagai organisasi kriminal atau kegiatan seperti mafia dapat dilakukan dengan menghilangkan penyebabnya atau akar permasalahannya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan.

Pertama, memperbaiki kesejahteraan rakyat dengan program memberdayakan masyarakat, bantuan sosial dan kebijakan lain yang adil dapat mengurangi kesenjangan sosial dan menegah kemungkinan mereka terlibat dalam organisasi kriminal untuk mencari makan. Kedua, mengingat Indonesia memiliki kebinekaan dengan berbagai suku bangsa, agama dan daerah, program yang menyatukan berbagai suku bangsa dalam kegiatan bersama sangat perlu diadakan.

Sikap saling menghargai adanya perbedaan, berempati perlu digalang untuk mencegah timbulnya egoisme yang menimbulkan kelompok-kelompok primordial yang dapat melakukan perbuatan melawan hukum dan dapat membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa.

Ketiga,memperbaiki sistem suatu hal yang harus dilakukan seperti reformasi birokrasi. Pengawasan internal dan eksternal tetap perlu ditingkatkan. Pemimpin harus tegas dan memberikan contoh yang baik dalam keberpihakan kepada rakyat. Keempat, penegakan hukum harus tegas tanpa pandang bulu.

Kalau diperlukan dibentuk Badan Khusus Anti Mafia seperti halnya di Italia. Dikhawatirkan kalau kegiatan menyerupai mafia tidak dicegah dan diberantas, lambat laun akan melahirkan organisasi mafia sebagai organisasi kriminal yang membahayakan publik dan kepentingan negara.

Yunus Husein

Mantan Kepala PPATK dan Ketua Pusat Kajian Anti Pencucian Uang (Pukau) Indonesia

Sumber: Seputar Indonesia, 08 Januari 2013