Kamis, 13 Desember 2012

Polri Waspadai Teror Bom Menjelang Natal dan Tahun Baru


Mulai 23 Desember 2012 hingga 1 Januari 2013, Kepolisian Republik Indonesia akan menggelar Operasi Lilin menjelang perayaan Natal 2012 dan Tahun Baru 2013. Menjelang Natal, kepolisian siap melakukan pengamanan pada 38.499 gereja di seluruh Indonesia.

Pada kesempatan itu, Kapolri Jenderal Timur Pradopo mengingatkan kemungkinan gangguan keamanan saat perayaan hari raya Natal 2012 dan Tahun Baru 2013. “Salah satu ancaman di dalam pelaksanaan Natal dan Tahun Baru adalah ancaman teror,” ujar Timur seusai membuka rapat koordinasi Operasi Lilin di Wisma Bhayangkari, Senin (10/12/2012) seperti dilansir VIVAnews.com

Kendati demikian ia menegaskan, masyarakat tidak perlu khawatir. “Artinya kita punya pengalaman seperti itu, sehingga masyarakat tidak perlu khawatir, karena Polri dibantu TNI dan aparat keamanan lainnya melakukan langkah-langkah pencegahan sehingga masyarakat bisa tenang dalam melaksanakan perayaan Natal maupun kegiatan Tahun Baru,” jelasnya.

Kepolisian telah melakukan evaluasi dari pengamanan tahun lalu dan akan meningkatkan pelayanan masyarakat.

Dalam Operasi Lilin tersebut, Polri mengerahkan 82.633 personel ditambah personel TNI. Pos pengamanan disebar di 1.887 titik dan 754 pos pelayanan. Personel juga disebar di terminal, pelabuhan, bandara udara, dan stasiun kereta api. Kemudian 2.606 pusat perbelanjaan dan 2.316 tempat wisata masuk dalam pengamanan.

“Intinya kita memberikan pelayanan masyarakat dalam rangka kegiatan keagamaan di gereja-gereja pada malam Natal,” ujar Timur seperti dikutip kompas.com.

Ia juga meminta masyarakat aktif membantu mengamankan wilayah sekitarnya.

Mantan Kapolda Metro Jaya itu menambahkan, titik-titik yang menjadi fokus dalam operasi lilin 2012 itu antara lain semua gereja di wilayah Indonesia. Sedangkan untuk tahun baru, jalur-jalur berkaitan dengan libur tahun baru seperti pantura, jalur selatan, dan lainnya. “Itu menjadi pengamanan utama yang nanti akan dibicarakan pada rakor ini,” kata dia.

Timur menjamin, perayaan Natal dan Tahun Baru tahun ini akan berjalan aman. Karena Polri dengan TNI akan melakukan upaya melakukan tindakan-tindakan pencegahan menghadapi semua aksi teror. 

Radikalisme dan Intoleransi Lebih Bahaya dari Terorisme



Aksi radikalisme berbasis agama dan intoleransi masih kerap terjadi di negeri ini. Dengan mengatasnamakan agama sekelompok organisasi tertentu melakukan tindak kekerasan terhadap kelompok lain yang dianggapnya sesat dan merusak akidah umat Islam. Radikalisme dan intoleransi tersebut tentu mengganggu tatanan kehidupan berbangsa.

Peneliti Setara Institut Ismail Hasani mengatakan dari perspektif gerakan sosial radikalisme dan intoleransi lebih berbahaya daripada terorisme. Menurutnya, radikalisme dan intoleransi berpotensi memperoleh dukungan besar dari masyarakat karena beroperasi di zona aman.

“Kalau ditanya apakah anda setuju dengan operasi antimaksiat yang dilakukan FPI, maka sebagian orang pasti setuju karena orang Islam antimaksiat. Tapi kalau terorisme semua orang sudah verb tidak ada yang mendukungnya. Dan dari berbagai survei dukungan terhadap terorisme kecil,” ujar Ismail saat berbincang dengan Lazuardi Birru.

Ia mengatakan penanganan terorisme sudah jelas karena kerangka hukumnya sudah jelas, sementara radikalisme dan intoleransi kerangka hukumnya tidak pasti. Dalam penanganan terorisme kita hanya mendorong dan mengawal negara untuk menegakkan hukum dan rasa aman bagi warganya.

“Radikalisme dan intoleransi harus mendapatkan penanganan lebih, sedangkan kalau terorisme semua perangkat penanganannya sudah jelas. Radikalisme dan intoleransi lebih berbahaya karena tangga untuk menuju terorisme,” tandasnya.

Menurut dia jika pemerintah hanya memberikan perhatian pada terorisme, sedangkan radikalisme dan intoleransi tidak diperhatikan maka itu sama saja pemerintah menjadi pemadam kebakaran. Pemerintah hanya menungggu kapan kebakaran terjadi, tapi tak mau mengatasi aspek hulu yaitu ideologinya.

Kekerasan Tak Bisa Selesaikan Masalah


Direktur Pais Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Dr. Amin Haedari, M.Pd mengatakan, kekerasan tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Apalagi pola-pola yang dilakukan oleh kelompok tertentu yang menggunakan teror dan pengeboman.

“Sebetulnya dengan adanya kelompok teror, masalah yang kita hadapi tidak akan pernah selesai. Mereka melakukan kekerasan selalu menggunakan legitimasi agama, padahal kita dianjurkan untuk mengajarkan agama dengan hikmah,” kata Amin pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

“Kita dianjurkan untuk mengajarkan agama dengan hikmah, dengan lemah lembut, dengan tutur kata yang santun,” imbuhnya.

Menurut Amin, apa yang dilakukan oleh kelompok yang senang menggunakan kekerasan dalam mengajak pada kebaikan merupakan kesalahan fatal. “Kalau ada orang yang tidak sepaham, kemudian diselesaikan dengan cara kekerasan, saya kira itu pemahaman yang keliru,” ungkapnya.

Karena itu, ia berharap agar tidak menjadikan kekerasan sebagai solusi. Menurut dia, banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan persoalan ini. Misalnya dengan cara dialog dan memberikan tauladan yang baik.

Ia menghimbau pada semua elemen masyarakat agar tidak mudah terprovokasi, dan menganggap kekerasan sebagai solusi. Menurut dia, kekerasan hanya akan menimbulkan masalah baru, dan tidak akan pernah menyelesaikan masalah.

Tanggulangi Radikalisme, Peran Ormas Sangat Penting


Organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam seperti Nahdlatul Ulama (NU), Muhammadiyah, Persis, dan ormas lain mempunyai peran yang sangat penting dan vital di masyarakat. Tak terkecuali dalam menangani radikalisme dan terorisme di Indonesia.

Hal tersebut diungkapkan Dosen Fakultas Adab, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Ainul Yaqin pada Lazuardi Birru. “Saya pikir sangat penting untuk bekerja sama dengan ormas-ormas Islam seperti Muhammadiyah, NU, Persis dan lain sebagainya,” kata Yaqin.

Menurut dia, ormas-ormas Islam seperti NU dan Muhammadiya tersebut mempunyai institusi pendidikan yang luar biasa besar. Lembaga pendidikan tersebut bisa maksimal untuk membangun karakter generasi muda agar tidak mudah terpengaruh oleh pemikiran negatif, termasuk juga ideologi yang berpotensi untuk melakukan tindakan teror.

“Peran ormas ini tidak bisa dianggap kecil. Dengan bekerja sama dengan ormas-ormas ini bisa melakukan pendekatan dan upaya yang sangat efektif,” ungkapnya.

Bahkan, kata Yaqin, pada ormas atau kelompok yang selama ini dianggap bersebrangan atau dianggap radikal, pemerintah juga harus menggandengnya. “Kalau pemerintah melakukan pendekatan yang baik dan kontinyu, saya kira mereka juga bisa diajak berkerja sama,” kata Yaqin menjelaskan.

Pancasila Perekat Bangsa yang Beragam


Pancasila sebagai ideologi merupakan cerminan dari nilai-nilai luhur budaya bangsa Indonesia. Sebagai sebuah konsensus, Pancasila merupakan perekat bangsa yang beragam. Hal tersebut diungkapkan Direktur Pais Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Dr. Amin Haedari, M.Pd.

Menurut Amin, Pancasila merupakan cerminan dari keberagaman yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia. Negara yang dibangun di atas perbedaan suku, budaya, bahasa, agama, bahkan kepercayaan ini, tetap menjadi satu kesatuan di bawah naungan NKRI. “Pancasila ini juga tidak bertentangan dengan agama,” tegas Amin pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Ia mencontohkan misalnya sila pertama pada Pancasila. Menurut Amin, sila pertama adalah Ketuhanan Yang Maha Esa. “Agama (Islam) juga mengajarkan kita untuk beragama dan beriman pada Tuhan. Begitu juga dengan sila-sila lain yang ada dalam Pancasila,” ungkapnya.

Selanjutnya sila tentang keadilan sosial. Menurut dia, agama juga sama mengajarkan tentang keadilan sosial ini. “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, yang di dalamnya juga ada konsep demokrasi juga selaras dengan Islam sangat menjunjung demokrasi. Bahkan sebetulnya tidak ada agama lain atau kelompok lain yang lebih demokratis dari Islam,” demikian Amin menjelaskan.

Lebih lanjut Amin mengatakan, dalam Pancasila ada sila tentang “kemanusian yang adil dan beradab”. Pada sila ini, kita harus menghargai sesama manusia. Tidak hanya bagi mereka yang seiman, tatapi sesama manusia secara luas. Dalam Alquran, kata Amin, banyak ayat yang dimulai dengan awalan Ya Ayyuhannas, itu adalah manusia semuanya. Bukan Ya Ayyuhal Ladzina Amanu saja. “Pancasila dengan agama tidak bertentangan, saling mendukung, dan saling memperkuat,” tegasnya

Terorisme Adalah Musuh Bersama

Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam harus menjadikan terorisme sebagai musuh bersama. Seruan itu diungkapkan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH. Said Aqil Siradj.

“Tidak mungkin kita menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendak kepada orang lain,” katanya saat menjadi pembicara dalam Talk Show bertajuk “Peran Ulama, Umaro, dan Umat Dalam Mencegah Terorisme Guna Menciptakan Kamtibmas yang Kondusif” yang digelar Kepolisian Resor Banyumas di Hotel Aston Purwokerto, Jawa Tengah, Rabu malam (12/12/2012).

Menurut dia, manusia memiliki tugas mewujudkan keharmonisan meskipun mereka berbeda agama, suku, dan bangsa. Islam adalah agama yang membawa moral dan antikekerasan sehingga tidak boleh ada dakwah dengan kekerasan.

“Nabi Muhammad Saw tidak pernah menyuruh kaumnya untuk merusak berhala maupun mengganggu umat Nasrani. Pemeluk Nasrani tetap mendapat perlindungan. Semua penduduk Kota Madinah diperlakukan sama oleh Nabi Muhammad,” katanya.

Menurut dia, orang-orang yang berbeda agama bukan merupakan musuh kecuali yang melanggar hukum.

“Yang boleh menjadi musuh bersama adalah orang-orang yang melanggar hukum. Pengedar narkoba musuh bersama, pejabat yang korupsi itu musuh bersama,” kata dia menegaskan.

Lebih jauh Kiai Said menandaskan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah memproklamirkan negara Islam, yang ada adalah Negara Madinah. Karena itu, lanjutnya, Indonesia tak perlu menjadi  Negara Islam, yang terpenting adalah nilai-nilai Islam berlaku di bumi Indonesia. Kendati demikian, tandas Said, membela NKRI merupakan bagian dari jihad.

Dalam kesempatan itu, Said mengajak umat Islam untuk mewujudkan masyarakat yang beriman kepada Allah dengan melaksanakan ibadah sehingga dapat menjadi manusia yang berakhlak.

Usai acara, kepada wartawan Said Aqil mengatakan, aksi terorisme dapat dipicu oleh faktor pengangguran dan kemiskinan. “Pengangguran, kemiskinan, dan keterbelakangan, atau ada keinginan balas dendam tetapi tidak tahu siapa yang akan dibalas sehingga menjadi teroris,” katanya.

Menurut dia, ada teroris maupun tidak ada teroris, kiai harus menjadikan masyarakat untuk tidak radikal.

Rabu, 28 November 2012

Masyarakat Poso Tak Ingin Lagi Berkonflik


Situasi Poso, Sulawesi Tengah sempat memanas lataran serangkaian peristiwa teror dan operasi penangkapan terduga teroris selama Oktober-November 2012. Hal itu sempat memicu kekhawatiran sebagian kalangan akan meledaknya kembali konflik horizontal di Poso.

Namun kekhawatiran itu ditepis oleh Muhammad Miqdad, Direktur Eksekutif Institut Titian Perdamaian (ITP), LSM di Jakarta yang menjalankan program CEWARS (Conflict Early Warning System) di Poso hingga kini.

“Mayoritas masyarakat Poso tidak lagi menginginkan kedamaian poso terkoyak. Mereka masih sangat trauma terhadap serangkaian peristiwa kekerasan yang pernah bergolak, terutama pada rentang waktu 1999-2001,” ujar Miqdad kepada Lazuardi Birru beberapa waktu lalu.

Menurut dia, aksi teror memang masih marak terjadi, namun hal itu tidak akan mengakselerasi kemungkinan di mana masyarakat akan terlibat dalam konflik horizontal.

Perihal masih banyaknya kelompok radikal yang bergerak di Poso, pria asli Palu ini melihat bahwa mereka tidak memeroleh dukungan yang cukup dari masyarakat. Karena itu banyak kelompok radikal di Poso yang berpindah ke daerah lain untuk mencari “arena” baru.

“Kelompok-kelompok militan yang dulu pernah terlibat dalam konflik horizontal, setelah beberapa kali terikat dengan perjanjian damai, mereka mengalami pembelahan. Ada yang masih melakukan kegiatan tadrib askary (pelatihan militer), namun kebanyakan sudah tidak lagi terlibat dengan kegiatan itu,” ungkap Miqdad.

Kendati demikian, alumni IAIN (Sekarang UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini, tetap menegaskan pentingnya pendekatan pembangunan perdamaian yang holistik terhadap masyarakat Poso.

“Masih banyak warga eks kombatan di Poso yang cukup lihai menggunakan senjata, memiliki kemampuan beladiri, dan pernah terlibat langsung dalam konflik. Bisa saja mereka terprovokasi untuk melakukan aksi kekerasan lagi jika potensinya tidak dikelola secara baik,” ujarnya mengingatkan.

Selasa, 27 November 2012

Problem Poso Jangan Didekati Dengan Kekerasan


Poso, Sulawesi Tengah terbukti masih menjadi ladang subur pertumbuhan kader teroris baru. Kasus mutakhir adalah penangkapan tiga orang terduga teroris di Kabupaten Tojo Una-una, Sulawesi Tengah, Minggu dinihari, 25 November 2012.

Kenyataan tersebut menurut Muhammad Miqdad, Direktur Eksekutif Institut Titian Perdamaian (ITP), LSM di Jakarta yang memiliki program CEWARS (Conflict Early Warning System) di Poso, salah satunya dipicu aksi represif aparat terhadap kelompok-kelompok teror di Poso.

“Penangkapan yang dibarengi dengan aksi kekerasan seperti kasus penembakan terhadap Khoiri, terduga teroris asal Bima awal bulan ini, justru memupuk dendam dalam kelompok mereka sehingga membuat para kadernya tersulut untuk menjadi teroris,” ujar Miqdad kepada Lazuardi Birru, Sabtu (23/11/2012).

Pria asli Palu, Sulteng ini berkisah, dirinya pernah menyaksikan prosesi pemakaman salah satu DPO kasus terorisme yang tertembak mati oleh polisi. Saat itu ia mendengar teriakan ‘ini belum selesai, tunggu pembalasan kami.’

“Peristiwa Januari 2007 di mana Densus 88 melakukan operasi penangkapan terhadap DPO terorisme di Tanah Runtuh, Poso, hingga menewaskan beberapa terduga teroris dan seorang polisi karena baku tembak, itu jelas memicu kemarahan dan dendam. Walhasil terjadilah penembakan polisi di Kantor Cabang BCA di Palu pada 2011 dan terakhir pembunuhan 2 polisi di Poso Pesisir,” urai Miqdad yang baru saja kembali dari Poso sebelum wawancara dilakukan.

Lebih lanjut ia menganalisis selebaran yang berisi tantangan perang kelompok radikal di Poso terhadap polisi namun melarang keterlibatan TNI. Baginya, hal itu murni ekspresi balas dendam.

“Jika memang mereka menganggap Negara ini thaghut, sehingga seluruh instrumennya juga thaghut yang boleh diperangi, aka TNI juga akan mereka ajak perang. Namun ternyata mereka hanya mengincar polisi. Itu lantaran polisi merupakan instrumen Negara terdepan yang berhadapan dengan kelompok radikal di Poso,” ujarnya.

Karena itu, dalam hemat Miqdad, menangani persoalan kelompok-kelompok radikal di daerah pasca-konflik seperti Poso tidak boleh dengan cara kekerasan. Pasalnya mereka punya pengalaman traumatis terlibat aksi kekerasan dalam konflik horisontal. Saat konflik, mereka berani nekad lantaran dendam atas terbunuhnya saudara, kerabat, atau koleganya di depan mata mereka.

“Memutus mata rantai kekerasan dengan kekerasan hanya akan memunculkan kekerasan baru. Tidak akan ada proses perdamaian yang langgeng dengan cara kekerasan. Semua strategi penanganan masalah di daerah pascakonflik patut dicoba, asalkan tidak dengan kekerasan,” tutupnya.

Senin, 26 November 2012

Pemimpin Harus Berwatak Pluralis


Anggota DPR RI dari Fraksi PDI Perjuangan (F-PDIP) Maruarar Sirait (Arar) berharap agar pemimpin masa depan Indonesia berasal dari tokoh yang menghargai keberagaman. Menurut sejarah, kata Arar, seorang pemimpin yang berhasil adalah sosok yang mampu berpikir dan berbuat di tengah keberagaman.

“Kepemimpinan dan figur sangat penting dalam membangun tatanan sosial di tengah keberagaman masyarakat. Kita perlu pemimpin yang punya kemampuan mentransformasi dirinya dari seorang politisi menjadi seorang negarawan,” kata Arat dalam keterangan persnya di Jakarta, Jumat (23/11).

Guna meraih pemimpin yang demikian, Arar mengaku telah menyampaikan hal itu saat berbicara mewakili delegasi Indonesia dalam “Interfaith Dialog,” sebuah dialog antar-agama yang berlangsung di Nusa Dua, Bali, beberapa saat lalu.

Pada dialog tersebut, Arar mengatakan bahwa dalam kasus radikalisme, terlihat bahwa para pemimpin hanya memikirkan agama dan kelompoknya semata. Karena itu, lanjutnya, perlu dirancang sebuah sistem untuk melahirkan pemimpin yang tidak sekadar mementingkan suku dan agamanya saja.

“Saya pribadi misalnya, mengusulkan bagaimana anggota DPR di Indonesia jangan hanya mewakili daerah pemilihan tempat kelahirannya saja. Jadi, dia bisa dibentuk tidak hanya mencintai sukunya, tetapi juga tempat lain. Kita mencari orang yang mampu berpikir dan bertindak universal,” tandasnya.

Senin, 12 November 2012

Rais Aam PBNU: Waspadai Pihak yang Pecah Belah Umat Islam


Rais Aam Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Sahal Mahfudh mengimbau umat Islam, khususnya warga NU, agar menjaga ukhuwah islamiyah. Banyak pihak yang tidak ingin umat Islam di Indonesia bersatu.

“Kita harus waspada. Ada pihak-pihak yang ingin memecah-belah umat Islam. Karena kalau umat Islam bersatu akan menjadi kekuatan besar,” kata Kiai Sahal saat memberikan pengantar dalam rapat gabungan Syuriyah-Tanfidziyah di kantor PBNU, Jakarta, seperti dilansir NU Online.

Kepada pengurus lengkap syuriyah dan tanfidziyah PBNU, Kiai Sahal juga berpesan agar semua menjaga kesatuan organisasi NU. Jangan NU terpancing dengan berbagai  isu yang dihembuskan untuk memecah belah ukhuwah nahdliyah. “Bisa dari luar atau dari dalam NU sendiri,” demikian Kiai Sahal mengingatkan.

Rapat gabungan antara lain membahas tindak lanjut dari pelaksanaan Munas-Konbes NU 2012 di Cirebon beberapa waktu lalu. Dalam kesempatan itu, Kiai Sahal menyampaikan terimakasih kepada para pengurus dan pihak-pihak yang telah bekerja mensukseskan pelaksanaan Munas-Konbes.

Generasi Muda Wajib Miliki Rasa Bela Negara dan Cinta Tanah Air


Sekretaris Jenderal Kementerian Pertahanan Masdya TNI Eris Herryanto menyambut kedatangan Peserta Parade Cinta Tanah Air, yang terdiri dari siswa-siswi SMA perwakilan dari 33 propinsi se-Indonesia di Halaman Kantor Kementerian Pertahanan, Jakarta. Perwakilan siswa-siswi SMA dari seluruh Indonesia ini adalah peserta lomba debat dan penulisan karya tulis ilmiah tingkat pusat dengan tema “Anak Muda dan Pembangunan Karakter Bangsa”.

Dalam sambutannya Sekjen Kemhan mengatakan, membangun rasa cinta tanah air dan rasa bela negara adalah bagian dari tugas Kementerian Pertahanan. Lomba debat dan karya tulis ini diharapkan dapat menyalurkan bakat dan pemikiran para generasi muda dalam bidang bela negara sehingga dapat menjadi pemimpin-pemimpin bangsa di masa depan yang berkarakter bangsa yang kuat.

Selain itu ia juga berpesan kepada siswa-siswi peserta Lomba Debat Parade Cinta Tanah Air agar para peserta tidak hanya berdebat, berekspresi, berargumentasi mengenai rasa bela negara dan cinta tanah air, tetapi juga dapat mengaplikasikan pemikiran-pemikiran dan argumentasinya dalam tindakan sehari-hari. Parade ini diselenggarakan atas kerjasama Kemhan dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Dalam Negeri dan Serikat Perusahaan Pers.

Perbaikan Keadilan dan Kesejahteraan Cegah Konflik Sosial


Mantan Wakil Presiden M Jusuf Kalla menyatakan perbaikan keadilan, kesejahteraan, dan kemakmuran dinilai dapat mencegah konflik sosial. Menurutnya, konflik sosial di daerah terjadi karena permasalahan ekonomi. Karena itu, pemerintah perlu memberikan perhatian khusus untuk mencegah agar konflik tak berulang.

“Keadilan dan kemakmuran harus diperbaiki. Tak ada cara yang lebih efektif dalam mencegah konflik selain memperbaiki keadilan dan kemakmuran,” ujar Kalla di Hotel Bidakara, Jakarta, Kamis (8/11/2012).

Ketua Palang Merah Indonesia ini mengatakan penanganan konflik juga tidak bisa dijalankan tanpa partisipasi masyarakat. Karena, masyarakat yang akan mengalami sendiri apabila terjadi suatu konflik.

Kamis, 01 November 2012

Ribuan Pelajar NU Ikrar Setia NKRI


Sebanyak 3.000 pelajar NU mengikuti apel kesetiaan pada Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang diselenggarakan PC IPNU-IPPNU Grobogan di alun-alun Purwodadi, pada Ahad, 28/10/2012 kemarin. Ikrar setia NKRI tersebut sebagai bentuk nyata memperingati hari Sumpah Pemuda.

Mereka yang sebagian besar pelajar MTs-MA dan perwakilan Pimpinan Anak Cabang IPNU-IPPNU se-Grobogan itu mengucapkan ikrar kesetiaan terhadap NKRI.

Dalam naskah ikrar kesetian NKRI yang dibacakan ketua PC IPNU Grobogan, Fathoni itu menyatakan pelajar NU akan selalu melaksanakan syariat Islam, berpedoman pada garis perjuangan NU, menjaga generasi muda dari pengaruh buruk narkoba.

“Pelajar NU Grobogan berikrar akan selalu berkomitmen terhadap Pancasila sebagai asas kehidupan berbangsa dan akan tetap setia terhadap NKRI,” kata Fathoni yang ditirukan seluruh peserta apel.

Fathoni menjelaskan, pelaksanaan apel ikrar setia terhadap NKRI ini berdasarkan situasi sekarang dengan banyaknya faham-faham Islam aliran kiri yang dengan mengatasnamakan jihad, namun justru melakukan aksi terorisme dan mengganggu kedaulatan NKRI.

“Selain itu, dengan momentum hari sumpah pemuda, dirinya mengajak kepada seluruh kalangan muda khususnya kalangan pelajar untuk ikut meneruskan semangat perjuangan Budi Utomo, atau yang lebih dikenal dengan Bung Tomo,” kata dia.

Ia menegaskan bagi pelajar NU, NKRI adalah harga mati. Hal ini didasari pada perjuangan Nahdlatul Ulama yang tidak bisa dipisahkan NKRI. “Momentum sumpah pemuda ini, kita mengajak para pemuda untuk benar-benar memahami dan mengimplementasikan makna sumpah pemuda dalam diri masing-masing. Sehingga tidak akan ada lagi pemuda yang menjadi pelaku aksi terorisme,” imbuhnya.

Dandim 0717 Purwodadi Letkol Inf Heri Prakosa Ponco Wibowo juga hadir dan menyampaikan orasi kebangsaannya. Dalam orasinya, Heri Prakoso mengatakan pernyataan ikrar setia NKRI yang dilakukan oleh ribuan pelajar ini  hendaknya benar-benar menjadi pedoman. Penanaman sikap disiplin dan rukun sangat diperlukan untuk membentuk karakter pemuda yang tangguh.

“Apalagi pemuda adalah sebagai motor penggerak bangsa. Mari kita isi dengan belajar dan berlatih untuk menjadikan NKRI lebih maju dan beradab,” tandas Dandim di depan ribuan pelajar NU.

Sedangkan koordinator  Badan NK Grobogan Johari Angkasa berharap sebagai generasi penerus bangsa tidak melakukan kegiatan-kegiatan negative yang  membahayakan diri sendiri seperti menjadi pecandu narkoba. “Pemuda yang sudah kecanduan dengan obat-obat terlarang maka akan hancur pula masa depannya. Jauhi narkoba dan semua hal yang merugikan diri kalian,” pesannya.

Selain ribuan peserta, kegiatan yang merupakan rangkaian konperensi cabang IPNU Grobogan ini  dihadiri pula DANDIM 0717 Purwodadi Letkol Inf Heri Prakosa Ponco Wibowo, Kepala Kesbangpolinmas Yudi Sudarmunanto, Badan Narkotika Kabupaten (BNK) Grobogan Johari Angkasa, dan ketua PC NU Grobogan Mat Said

Presiden Himbau Agar Semua Pihak Berperan Aktif Cegah Aksi Terorisme


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menghimbau agar semua pihak berperan aktif mencegah aksi terorisme maupun konflik horisontal yang saat ini kerap terjadi di Indonesia. Hal tersebut diungkapkan Presiden SBY saat konferensi pers di Istana Negara, Jakarta, Selasa, 30/10/2012.

Menurut SBY, mencegah aksi terorisme bisa dimulai dari keluarga. “Terorisme sesuatu yang tidak kita hendaki. Terorisme adalah kejahatan dan agama manapun malarang,” ungkapnya.

Dalam hal ini, ia mengajak seluruh jajaran pemerintahan, dari RT, RW, Bupati, Wali Kota, Gubernur dan seluruh jajaran Kepolisian untuk melakukan langkah-langkah pencegahan agar aksi terorisme tidak terjadi lagi di masa mendatang. “Jika ada pelakuknya harus segera ditindak dan dibawa ke pengadilan,” imbuhnya.

Aksi terorisme, lanjut SBY, bukan hanya tanggung jawab aparat kepolisian dan TNI, tetapi menjadi tanggung jawab semua pihak. Presiden juga mengimbau seluruh pemimpin agama manapun untuk tampil dan menyerukan kepada pengikutnya agar tidak terjadi aksi-aksi terorisme.

Pada kesempatan tersebut, SBY juga menyerukan kepada dunia internasional, agar di dalam menjalin hubungan antarbangsa selalu mengindahkan saling menghormati dan saling menghargai. Setiap negara juga diminta sensitif dengan apa yang berlaku di komunitas lain, bangsa lain, maupun agama lain. Jangan sampai, kata SBY, negara-negara justru memproduksi sumber sehingga terjadi aksi radikal.

Pemerintah Minta Penistaan Agama Dihentikan


Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengimbau negara-negara sahabat agar saling menghormati dan sensitif terhadap apa yang berlaku di negara lain. SBY meminta agar negara sahabat jangan memproduksi hal-hal yang menjadi sumber terjadinya aksi radikalisme, termasuk terorisme.

“Istilah penistaan agama yang beberapa kali terjadi, hentikanlah. Tidak ada alasan apa pun, tidak ada prakondisi apa pun bagi terjadinya aksi-aksi kekerasan termasuk terorisme itu,” kata Presiden, di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, seperti dilansir Kompas.com, Selasa, 30/10/2012, sebelum bertolak ke London, Inggris.

Untuk dalam negeri, Presiden mengintruksikan kepada jajaran pemerintah daerah untuk melakukan upaya pencegahan terorisme. Jika ada tindakan terorisme, kata Presiden, harus ditindak tegas hingga dibawa ke pengadilan.

Presiden mengatakan, pencegahan terorisme jangan hanya diserahkan kepada kepolisian dan TNI. Semua pihak mulai dari tingkat gubernur hingga ketua RT, para tokoh agama, dan tokoh masyarakat harus terlibat. “Bagi keluarga di seluruh Tanah Air teruslah membimbing putra-putrinya, anggota keluarganya untuk tidak melakukan kejahatan terorisme,” ungkapnya.

Dalam konteks ini, kata SBY, keluarga haruslah membimbing putra-putrinya agar tidak menjadi korban terorisme, seperti menjadi pelaku bom bunuh diri. Selain itu, lingkungan masyarakat, seperti RT, RW, desa juga harus peduli.

“Tugasnya mencegah kalau ada keganjilan, ada rumah kontrakan yang tidak jelas penghuninya, kerjanya malam hari, tidak boleh apatis, tidak boleh tidak punya kepekaan dalam hal ini. Lakukanlah sesuatu untuk mencegah,” papar Presiden.

Seperti diberitakan, pekan lalu, tim Densus 88 Polri menangkap 11 terduga teroris di beberapa daerah, seperti Solo, Madiun, Bogor, dan Jakarta. Mereka ditengarai sedang merencanakan serangan di beberapa sasaran.

Mantan NII: Generasi Muda Labil Jadi Sasaran Empuk Perekrutan


Penyebaran aliran dan ideologi sesat sering kali dikaitkan dengan agama dan kitab suci. Salah satunya adalah penyebaran ideologi Negara Islam Indonesia (NII) yang bertujuan menggantikan ideologi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dengan ideologi NII.

Menurut mantan aktivis NII, Sukanto, sasaran NII kebanyakan adalah generasi muda. Hal itu dikarenakan mereka masih mudah dipengaruhi dan kurang paham akan sejarah NKRI sehingga mudah terhasut dan terhipnotis terhadap paham dan ideologi NII yang sebetulnya menyimpang.

“Biasanya, orang yang direkrut adalah pelajar atau mahasiswa yang masih labil dan kurang paham akan sejarah bangsa. Selain itu, mereka berasal bukan dari keluarga TNI atau kepolisian. Saat proses doktrinasi, biasanya menggunakan lokasi-lokasi yang disenangi anak muda, seperti mal, warung makan dan tempat-tempat nongkrong lainnya. Orang yang merekrut pun juga berpakaian gaul seperti halnya remaja. Ini yang menyebabkan tidak mudah terendus,” ujar mantan pengurus NII yang ditugasi sebagai perekrut.

Sukanto menambahkan, untuk mempermudah proses ‘cuci otak’ tersebut, NII melibatkan lebih dari tiga orang. Selain itu, mereka menggunakan kedok agama dan ayat-ayat suci Al’quran.

“Pokoknya, NKRI selalu dibandingkan dengan agama yang diperkuat dengan ayat-ayat suci Al’quran. Jadi, sasaran lebih mudah terpengaruh,” katanya.

Selain itu, Bupati Magelang Singgih Sanyoto dalam sambutannya menegaskan, generasi muda wajib mengetahui, mengerti dan paham akan sejarah bangsanya.

“Seperti yang Bung Karno pernah katakan, jasmerah! Jangan pernah melupakan sejarah bangsa. Ini penting, agar empat pilar bangsa tidak mudah digoyah siapa pun. Empat pilar itu adalah Pancasila, UUD 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika,” katanya.

Sabtu, 20 Oktober 2012

Dalang Pembunuhan Polisi Poso Aktor Lama

Kepala BNPT, Irjen Pol. Ansyad Mbai

Otak pembunuhan dua polisi di Poso, Brigadir Sudirman dan Briptu Andi Sapa diduga adalah orang yang terkait dengan sejumlah aksi teror di Poso sejak tahun 2005 silam yang saat ini masih buron.

Pernyataan ini disampaikan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyad Mbai di sela-sela pelantikan pengurus Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Bali, di Denpasar, Jumat (19/10/2012).

“Ada alasan-alasan, dari aspek orangnya, siapa yang nyalaian kompor-kompor itu ada,” ujar Ansyaad kepada wartawan.

BNPT sudah mengantongi nama-nama sejumlah tokoh penebar teror yang saat ini masih buron. “Ada aktor intelektual yang masih menebar teror namun sampai saat ini belum tertangkap,” jelas Ansyaad.

Menurut Ansyaad, untuk menangkap sejumlah nama yang diduga terkait teror butuh bukti-bukti kuat dan tidak bisa asal tangkap seperti saat orde baru silam.

“Dahulu zaman Pak Harto jika ada yang mengarah pada gerakan membahayakan, satu kampung bisa digaruk, bawain ke truk, dikirim ke Pulau Buru atau dieksekusi tanpa ada proses hukum di persidangan,” bebernya.

Saat ini, dibutuhkan koordinasi yang efektif antaraparat terkait untuk mengungkap dan menangkap kelompok-kelompok penebar teror di Poso untuk mencegah jatuhnya korban lagi baik dari sipil maupun dari aparat.

Briptu Andi Sapa dan Brigadir Sudirman, 2 anggota kepolisian yang sedang bertugas menyelidiki pelatihan militer di Poso, hilang sejak 8 Oktober 2012 dan ditemukan tewas di lokasi yang dekat dengan tempat latihan kelompok teror, tepatnya di Dusun Tamanjeka, Desa Masani, Poso, Sulawesi Tengah, pada Selasa (16/10/2012). Diduga mereka dibunuh oleh jaringan DPO terorisme, Santoso.

Indonesia Jadi Role Model Penanggulangan Terorisme


Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Irjen Pol (Purn) Ansyaad Mbai menegaskan, dunia internasional menjadikan Indonesia sebagai salah satu role model penanggulangan terorisme di negara masing-masing.

“Hal itu berkat Indonesia dinilai berhasil oleh banyak negara dalam mencegah dan menanggulangi aksi terorisme,” kata Kepala BNPT Irjen Pol (Purn) Ansyaar Mbai di Denpasar, Jumat (19/10/2012).

Ketika mengukuhkan Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Bali yang diketuai Drs I Gede Putu Jaya Suartama, M.Si, ia mengatakan keberhasilan Indonesia dalam menanggulangi terorisme diakui dunia internasional sejak keberhasilan mengungkapkan pelaku dan jaringan bom Bali 12 Oktober 2002.

Sebagian besar pelaku teroris dan jaringannya dalam melakukan aksi di sejumlah tempat berhasil diungkap serta pelakunya ditangkap dan diproses secara hukum.

“Prestasi yang demikian itu diharapkan diimbangi dengan meningkatkan kewaspadaan dari semua pihak, sehingga stabilitas nasional dapat dipelihara dan ditingkatkan di masa-masa mendatang,” ujar Ansyaar Mbai.

Kasubag Deradikalisasi Bidang Pencegahan Densus 88 Antiteror Mabes Polri Komisaris Polisi Kurnia Wijaya ketika memberikan pembekalan saat membentuk FKPT Provinsi Bali menjelaskan berhasil ditangkap sekitar 800 teroris beserta jaringannya selama sepuluh tahun, 2002-2012.

Para teroris itu baik yang tertembak saat penangkapan maupun yang tertangkap hidup, sebagian besar telah diproses secara hukum. Kerja keras, koordinasi dan kewaspadaan semua pihak tetap diperlukan dalam mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan, kata Kurnia Wijaya.

Rabu, 17 Oktober 2012

Teroris Itu Bughat, Tidak Bisa Ditolerir


Pasca Bom Bali 12 Oktober 2002 silam yang menewaskan 202 jiwa, pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme. Kemudian dikukuhkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dalam penindakan, namun juga dalam upaya pencegahan. Dalam hal ini pemerintah mencetuskan ide deradikalisasi sebagai sarana untuk melakukan upaya preventif agar tindakan terorisme di Indonesia terkikis.

Dalam upaya penindakan yang dilakukan pemerintah, upaya-upaya yang sifatnya represif tentu sering terjadi. Bahkan tidak sedikit kelompok yang menginginkan untuk menaikkan levelnya, tentunya seiring dengan langkah-langkah preventif yang juga digalakkan oleh pemerintah.

Dr. KH Abdul Malik Madaniy, MA, Katib ‘Am Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) mengatakan bisa saja pemerintah menaikkan levelnya dalam upaya penindakan dengan catatan berkaitan dengan efek jera dan sebagainya.

Dengan mempertimbangkan efek jera dan efektifitas suatu tindakan, Kiai Malik menilai, pemerintah wajar melakukan penindakan meskipun sifatnya represif, namun represifnya harus terukur, tidak ngawur.

“Tapi terukur dengan di back up oleh aturan perundang-undangan, kenapa tidak? Saya kira adalah suatu hal yang semestinya,” demikian Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menjelaskan pada Lazuardi Birru.

Mantan Dekan Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga ini mengatakan, dalam Islam pun yang namanya tindakan bagyu, orangnya yang disebut bughat, hukumannya juga keras. Menurut dia, pemerintah harus menyelamatkan bangsa yang besar ini dengan tidak mentolerir perbuatan segelintir orang yang merugikan publik seperti tindakan terorisme itu.

 “Kita harus selamatkan bangsa yang besar ini, kepentingan bangsa, kepentingan jama’ah dan umat itu harus diutamakan, harus di prioritaskan ketimbang segelintir orang tadi,” tegas Dosen Ilmu Tafisr ini.

Selasa, 16 Oktober 2012

Surat Tantangan Mujahidin vs Densus 88


بسم ا لله ا لرحمن ا لر حيم 


Sariyatu Tsa¡¯ri wad Dawaa¡¯ 

bekerjasama dengan 

Forum Islam Al-Busyro 

Mempersembahkan 

Surat Tantangan 

Terbuat Dari: 

KOMANDAN MUJAHIDIN INDONESIA TIMUR 

kepada 

DENSUS 88 ANTI TEROR 

Kami selaku Mujahidin gugus tugas Indonesia Timur MENANTANG kepada Densus
(Detasement Khusus) 88 Anti Teror untuk BERPERANG secara Terbuka dan 
Jantan¡­!!! 
Mari kita berperang secara laki-laki¡­!!! Jangan kalian Cuma berani menembak, 
menangkapi anggota kami yang tidak bersenjata¡­!!! Kalau kalian benar-benar 
Kelompok laki-laki, maka hadapi kami¡­!!! Jangan kalian menang tampang saja 
tampil di TV¡­!!! 
Buktikan bahwa kalian Pasukan Elit yang terlatih secara professional dengan Senjata 
lengkap dan Pelatih yang didatangkan langsung dari USA¡­!!! 
Kenapa kalian menghadapi kami saja takut yang jumlahnya sedikit, serta Senjata 
Rakitan¡­??? Kalian undang TNI (Tentara Nasional Indonesia) untuk menghadapi 
kami, ataukah kalian ini hanya kumpulan Banci-banci saja¡­??? 

Kepada TNI, biarkan kami selesaikan Urusan ini¡­??? 
Biarkan DENSUS vs MUJAHIDIN bertempur sampai siapa yang kalah dan siapa 
yang menang, jadilah anda Penonton yang baik¡­!!! 
Jangan mau anda dibodohi Densus, mereka yang banyak makan uang, anda yang 
harus susah harus berperang dengan kami, sedangkan mereka enak-enak menonton 
anda¡­!!! 
Biarkan Rakyat Indonesia tau siapa sebenarnya Densus 88 Anti Teror¡­!!! 
Mereka hanya pemakan Uang Rakyat dengan alasan Pemberantasan Terorisme, 
padahal mereka sendiri yang membikin Teror, supaya dilihat memang betul ada 
Teroris, padahal itu semua akal liciknya mereka supaya mendapat pangkat dan 
kedudukan, dengan mengorbankan Anak Bangsa yang tidak tau persoalan dan 
dibodohi oleh mereka. 
Padahal seharusnya kamilah MUJAHIDIN yang mereka harus lawan, tapi ternyata 
mereka hanya berani melawan orang tak bersenjata 
Oleh karena itu, kami MENANTANG secara Terbuka kepada Densus 88 Anti Teror 
untuk Berperang. Jangan kalian tangkapi orang-orang yang lemah lagi, 
LAWANLAH KAMI¡­!!! 

KEDATANGAN KALIAN KAMI TUNGGU¡­!!! 

Demikian Surat Tantangan ini dibuat dengan sebenar-benarnya 

Atas Nama 
Komandan Mujahidin Indonesia Timur 

Abu Mus¡¯ab Al-Zarqawi Al-Indunesi
ABU WARDAH aka SANTOSO aka ABU YAHYA 

Allahu Akbar...... 

{Dan Kemuliaan itu milik Allah, Rasul-Nya dan Orang-orang yang Beriman, akan tetapi 
orang-orang Munafik tidak mengetahuinya} 


Jangan lupa untuk selalu mendoakan Para Mujahidin dalam Doa-doa Khusyu¡¯ kalian 

Ahad, 14 Oktober 2012 
28 Dzulqo¡¯dah 1433 H 


Dari Ikhwan kalian di : 

Sariyatu Tsa¡¯ri wad Dawaa¡¯ 
Sariyah Pembalasan dan Obat Penawar 

Dan 

Forum Islam Al-Busyro 
Di sini kita bermula, di Ma¡¯rokah kita kan berjumpa

Usut Jaringan Teroris Poso, Dua Polisi Hilang

ilustrasi

Dua anggota polisi hilang saat tengah melakukan penyelidikan kasus terorisme. Keduanya sedang mengumpulkan bahan dan keterangan kasus terorisme. Kedua polisi wilayah Poso itu hilang sejak 8 Oktober 2012. Mereka adalah Briptu Andi Sapa dari Satreskrim Polres Poso dan Brigadir Sudirman dari Polsek Poso Pesisir.

“Terakhir diketahui di Dusun Tamanjeka, Poso Hutan Gunung Potong, ketika sedang melakukan upaya penyelidikan di lapangan,” kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Polri, Brigjen Pol Boy Rafli Amar di Jakarta, seperti dilansir VIVAnews, Senin 15 Oktober 2012.

Boy mengungkapkan pihaknya masih melakukan upaya pencarian. Sejauh ini, penyebab keduanya hilang belum diketahui. Kemungkinan mereka disekap kawanan teroris, kata Boy, juga belum dapat dipastikan.

“Tim gabungan telah dibentuk oleh Polda bersama dengan TNI, dan menyelenggarakan operasi kepolisian khusus dengan sandi Sadar Maleo,” jelasnya.

Meskipun demikian, Boy mengakui bahwa tidak jauh dari lokasi tempat hilangnya dua anggota polisi itu merupakan tempat pelatihan kelompok teroris jaringan Santoso yang hingga kini masih menjadi DPO (daftar pencarian orang). Polisi mencatat pelatihan sudah dilakukan beberapa kali.

“Diduga ini terkait aksi teror karena kita ketahui ada bom rakitan di Kota Poso,” ucapnya.

Pada 7 Oktober 2012, Detasemen Khusus 88 Antiteror Polri juga berhasil menangkap seorang terduga teroris bernama Imron di Jalan Kangkung, Kelurahan Balaroa, Palu. Alumni Pesantren Darus Syahadah Boyolali ini diduga berperan sebagai kurir dan fasilitator kelompok Santoso. Adapun Santoso adalah pentolan teroris di Poso yang terkait dengan Nurdin M. Top.

Imron juga diduga berperan membeli senjata untuk kelompok Santoso serta belajar merakit bom untuk kelompok Thoriq di Solo, Jawa Tengah.

Fatwa MUI 2004: Tindakan Terorisme Haram


Terorisme merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan dan peradaban yang menimbulkan ancaman serius terhadap kedaulatan negara, bahaya terhadap keamanan, perdamaian dunia, serta merugikan kesejahteraan masyarakat.

Kejahatan ini merupakan salah satu bentuk kejahatan yang terorganisasi dengan baik (well organized), bersifat transnasional dan digolongkan sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime) yang tidak membeda-bedakan sasaran (indiskriminatif).

Pemerintah berupaya mengatasi tindak kejahatan ini dengan mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme. Kemudian dikukuhkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003. Namun UU Tindak Pidana Terorisme yang saat ini berlaku dinilai masih banyak kelemahan.

Menanggapi maraknya aksi terorisme yang terjadi, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa tentang tindakan teror yang meresahkan itu. Keputusan fatwa MUI No.3 Tahun 2004 tersebut mengharamkan tentang tindakan terorisme, baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara.

Fatwa ini diambil sebagai sikap tegas dari ulama di Indonesia dengan berbagai pertimbangan. MUI menimbang bahwa tindakan terorisme dengan berbagai bentuknya yang terjadi akhir-akhir ini di beberapa negara, termasuk Indonesia telah menimbulkan kerugian harta dan jiwa serta rasa tidak aman di kalangan masyarakat.

Selain pertimbangan itu, MUI menggaris bawahi bahwa tindakan terorisme menuai kontroversi di kalangan umat Islam sendiri. Sebagian menganggapnya sebagai jihad yang diajarkan oleh islam, dan karenanya harus dilaksanakan walaupun harus menanggung resiko terhadap harta dan jiwa sendiri maupun orang lain. Karena itu, MUI sebagai perkumpulan dari ulama Indonesia berkewajiban untuk memberi fatwa dan meluruskan tafsir agama oleh kelompok-kelompok radikal tersebut.

Dasar hukum yang dijadikan landasan MUI dalam fatwa mengharamkan tindakan terorisme itu adalah Alquran (QS Al Maidah, 5:33, Qs Al Hajj, 22:39-40, QS Al Anfal, 8:60, QS An Nisaa’, 4:29-30, QS Al Maidah, 5:32, QS Al Baqarah, 2:125), Hadis Nabi, dan qa’idah fiqhiyah.

Menurut MUI, ada perbedaan yang mencolok antara terorisme dan jihad. Terorisme bersifat merusak dan anarkis. Tujuannya untuk menciptakan rasa takut dan menghancurkan pihak lain. Serta dilakukan tanpa aturan dan sasaran tanpa batas. Seperti pengeboman dan bom bunuh diri.

Sedangkan jihad bersifat melakukan perbaikan (islah) sekalipun dengan cara peperangan. Bertujuan menegakkan agama Allah dan membela hak-hak pihak yang terdhalimi. Serta dilakukan dengan mengikuti aturan yang ditentukan oleh syariat dengan sasaran musuh yang sudah jelas.

Oleh karena itu, MUI memfatwakan hukum melakukan tindakan terorisme, baik yang dilakukan oleh perorangan, kelompok, maupun negara adalah haram.

Senin, 15 Oktober 2012

Masyarakat Harus Waspada Penyebaran Ideologi Radikal Lewat Internet


Penyebaran ideologi radikal bisa melalui berbagai media seperti buku, membar bebas atau ceramah, dan internet. Akibat mudahnya penyebaran ide-ide radikal tersebut, kata Nasir, seseorang dengan mudah bisa menerima paham tersebut. “Penyebaran ideologi radikal di Indonesia ini mudah, bisa melalui berbagai media,” kata Nasir Abas di Jakarta, Rabu, 10/10/2012.

Bahkan, kata mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI) ini, ada orang yang memang sengaja menulis dalam situs internet cara-cara membuat dan merakit bom, serta cara melakukan aksi radikal lainnya. “Itu semua lengkap ada di dalam situs internet dan berbahasa Indonesia, sehingga hal ini (pemahaman radikal dan cara merakit bom, red) bisa saja dimiliki oleh orang–orang baru, generasi berikutnya yang setuju dengan paham tersebut. Lalu, merasa terpanggil untuk melakukan aksi yang sama,” kata Nasir.

Karena itu, ia berharap agar masyarakat tidak mudah menerima input-input pemahaman dan informasi yang tidak bisa dipertanggung jawabkan. Selain itu, ia juga berharap agar masyarakat, khususnya generasi muda bisa memfilter informasi yang ia dapatkan, baik melalui buku bacaan, internet, dan ceramah keagamaan yang mengandung kebencian dan aksi kekerasan.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Ansyaad Mbai meminta masyarakat mewaspadai upaya penyebaran paham radikalisme yang menggunakan jejaring sosial di internet.

“Mereka (teroris, red) menyebarkan paham-paham radikal ini, terutama melalui internet, buku-buku,” kata Ansyaad usai pelantikan pengurus Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Jawa Tengah di Semarang, seperti dilansir Antara, Jumat, 12/10/2012.

FKPT yang dibentuk di daerah, termasuk Jateng, merupakan forum koordinasi yang beranggotakan berbagai elemen masyarakat, dan salah satunya hasil kerja sama BNPT dengan Pimpinan Muslimat Nahdlatul Ulama (NU).

Menurut dia, langkah untuk menanggulangi penyebaran paham radikal melalui internet itu tidak bisa dilakukan dengan cara-cara kekerasan, melainkan harus dengan langkah persuasif yang juga menggunakan media internet.

“Kita harus masuk di wilayah itu (internet, red), sama-sama di media itu. Kita berkompetisi di situ untuk melakukan `counter`. Namun, cara yang dilakukan bukan dengan kekerasan, tetapi cara persuasif,” ungkapnya.

Penyebaran paham radikal, kata dia, juga bisa dilakukan lewat garis keturunan atau hubungan keluarga dengan menanamkan rasa kebencian dan permusuhan kepada apa saja yang mereka definisikan sebagai musuh.

Karena itu, ia mengemukakan pentingnya pemberdayaan seluruh komponen masyarakat, antara lain ulama, organisasi kemasyarakatan, dan kepemudaan untuk menangkal dan menanggulangi penyebaran paham radikal.

Remaja Anarkis Mudah Direkrut Jadi Teroris


Mantan Ketua Mantiqi III Jamaah Islamiyah (JI), Nasir Abas mengatakan, remaja yang kerap melakukan tindakan anarkis, tidak bisa menerima perbedaan, dan selalu menganggap dirinya yang paling benar sangat rentan direkrut oleh teroris.

Karena itu, Nasir berharap semua komponen masyarakat memberikan perhatian serius pada remaja sebagai generasi bangsa agar tidak terlibat dalam aksi-aksi kekerasan seperti tawuran dan tindakan anarkis lainnya. Karena remaja yang terlibat aksi anarkis, tawuran, memiliki mental dan keberanian yang berlebihan, serta mencelakai orang lain yang tidak sepaham dengan dirinya merupakan bibit awal aksi terorisme.

“Kita mengkhawatirkan anak muda jika tidak bisa menahan emosinya dan mengikuti nafsu anarkis dan bertemu dengan pelaku terorisme, maka itu sangat mudah bagi mereka untuk merekrut anak muda tersebut,” kata Nasir pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Nasir menyebutkan bahwa keterlibatan pelajar dalam aksi terorisme telah dibuktikan dengan berhasilnya aparat berwenang mengungkap sejumlah remaja yang terlibat termasuk pelajar SMA dan SMK. Ia mencontohkan Dani Dwi Permana, Farhan Cs, Muhammad Syarief, dan lain sebagainya.

Ia menegaskan bahwa remaja yang memiliki ciri-ciri sebagai “pengantin” atau martir bom bunuh diri di antaranya adalah anak muda yang memiliki keberanian, memiliki rasa tega, dan mental keras dengan keyakinan yang kuat dan meyakini sebuah perjuangan.

Meski demikian, dia mengharapkan semua pihak baik aparat berwenang dan masyarakat untuk ikut introspeksi mengenai terlibatnya remaja dalam beberapa aksi teror, dimulai dari keluarga, lingkungan, sekolah, dan masyarakat umum.

Menurut Nasir, remaja yang pintar adalah mereka yang bisa menentukan sikap, tidak mudah dicekoki oleh ideologi kebencian, tidak muda menyimpulkan hitam-putih. “Remaja yang dikatakan anak pintar adalah dia yang tahu mengatur hidupnya, pintar berada dalam lingkungannnya, pintar dalam mengajak orang lain pada kebenaran,” ungkapnya.

Korban Bom Bali: Terorisme Tidak Terkait Agama

Ketut Ningsih, Korban Bom Bali 2005

Setelah pelaku teror Bom Bali tahun 2002 dan 2005 terungkap ke publik, sebagian korban yang memeluk agama Hindu, sempat berprasangka negatif terhadap Islam. Pasalnya semua pelaku adalah muslim. Bahkan di persidangan, sebagian pelaku seperti Imam Samudra dan Mukhlas meyakini bahwa tindakannya benar menurut ajaran Islam. Namun seiring waktu, sebagian korban mengerti bahwa Islam tidak mengajarkan kekerasan dan menghargai umat agama lain.

Ketut Ningsih (27 tahun), korban bom Bali II di Manega Café Jimbaran Bali, sempat berpikir bahwa Islam memerintahkan pembunuhan. Ia bahkan sempat membenci warga muslim Bali.

“Tetapi setelah mendengar ceramah dan membaca buku, ternyata Islam menghargai pemeluk agama lain. Ternyata para teroris itu benar-benar licik, karena membawa nama Islam. Yang mengebom cuma segelintir, tapi semua muslim jadi kena imbasnya,” ujar perempuan yang menderita luka di bagian tangan akibat ledakan bom tersebut.

Sementara itu Kadek Ardani (27 tahun), korban Bom di Nyoman Café 01 Oktober 2012, awalnya menyimpan pertanyaan “benarkah Islam mengajarkan kekerasan terhadap umat agama lain? Bukankah setiap agama punya kepercayaan masing-masing?”

“Akhirnya saya tahu bahwa Islam tidak mengajarkan seperti itu. Hanya orangnya yang salah mengartikan ajaran Islam,” ujarnya.

Sedangkan korban Bom Bali II lain Kayan Subagia (30 tahun) sejak awal tidak punya prasangka negatif terhadap Islam.

“Semasa kecil saya tinggal di Jawa. Banyak teman saya yang muslim. Ajaran agama mereka tidak mengajarkan aksi kekerasan. Kami saling menghargai walau berbeda agama. Ada toleransi di antara kami. Saya tidak pernah menuduh bahwa Islam meneror Hindu. Itu hanya teroris saja,” ujar pria kelahiran Banyuwangi 30 tahun silam ini.

Semua korban Bom Bali II yang ditemui Lazuardi Birru beberapa waktu lalu beragama Hindu. Saat aksi teror tak berperikemanusiaan itu terjadi, mereka sedang menjalankan tugasnya sebagai karyawan Café yang diledakkan maupun Café sekitarnya.

Tak semua korban bisa memaafkan pelaku tapi Kayan Subagia dan Kadek Ardani secara legawa bisa memaafkan para pelaku.

“Saya pribadi, jika memang pelaku meminta maaf dan menyadari tindakan mereka salah, ya saya pribadi memaafkan. Entah dengan korban yang lain,” ungkap Kayan.