Selasa, 19 Februari 2013

Intoleransi Titik Temu Radikalisme dan Terorisme


Banyak hasil penelitian dan survei yang mengatakan bahwa intoleransi merupakan pintu masuk seseorang untuk menjadi teroris. Sikap intoleran ini kerap identik dengan terma radikalisme dan terorisme. Meskipun dua terma tersebut berbeda secara praktik, namun ada memiliki titik temu, yait sama-sama intoleran.

Direktur Eksekutif Maarif Institute, Fajar Riza Ul Haq mengatakan, radikalisme dan terorisme merupakan dua hal yang berbeda. Meskipun berbeda secara lingkup dan prakteknya, namun memiliki titik temu, yaitu sama-sama intoleran.

Menurut Fajar, meskipun keduanya memiliki korelasi, namun dari sisi pengkondisian berbeda. Karena itu, kata dia, harus hati-hati membedakan antara radikalisme dan terorisme. Fajar mengatakan, tingkat tingginya radikalisme tidak berelasi dengan tingginya terorisme. “Bahwa orang-orang yang terlibat terorisme itu radikal, itu iya. Tapi belum tentu orang yang sikapnya radikal, dia teroris,” kata dia pada Lazuardi Birru.

Lebih jauh Fajar mengatakan, ada beberapa fase orang yang radikal bisa menjadi teroris. Orang menjadi teroris tidak hanya persoalan ideologi semata, tapi banyak faktor yang mempengaruhi. Orang yang melakukan kekerasan pun tidak bisa disebut teroris. Karena itu kejahatan biasa.

Kamis, 07 Februari 2013

Memberantas Korupsi Bagian dari Jihad


Sebagian kelompok mengartikan jihad sama dengan qital (perang), padahal kedua istilah itu berbeda. Direktur Pais Dirjen Pendis Kementerian Agama RI, Dr. Amin Haedari, M.Pd mengarakan, pengertian jihad adalah upaya seseorang dengan bersungguh-sungguh dalam mengupayakan kebaikan.

“Jihad berasal dari Bahasa Arab yang artinya bersungguh-sungguh. Ada juga orang yang mengartikan jihad ini sama dengan qital. Tapi antara jihad dengan qital berbeda,” kata Amin pada Lazuardi Birru, di Jakarta.

Menurut Amin, jihad dapat diartikan sebagai upaya kesungguhan dari seseorang dalam melakukan kebaikan untuk mendapatkan ridha Allah SWT. Misalnya mencari ilmu, memberantas kemiskinan, memberantas kotupsi, dan lain sebagainya. Jadi, jihad di sini tidak selalu diartikan perang.

“Bersungguh-sungguh dalam melaksanakan ibadah kepada Allah, bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, bersungguh-sungguh memberantas tindak pidana korupsi juga masuk kategori jihad,” pungkasnya.

Dialog yang Masif Efetif Tanggulangi Radikalisme


Persoalan radikalisme yang berujung pada aksi teror merupakan masalah yang cukup kompleks. Di dalamnya tidak melulu faktor ideologi, namun ada faktor lain, seperti keadilan, sosial politik, dan faktor lain yang juga mempengaruhi tindakan tersebut. Karena itu, perlu ada dialog yang masif menyelesaikan masalah itu.

Direktur Program Pusat Studi Hukum dan Hak Asasi Manusia (Pusham) Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Eko Prasetyo mengatakan, ideologi terorisme tak bisa diberangus hanya dengan cara melakukan tindakan represif, seperti penembakan.

“Upaya-upaya represif tidak pernah bisa membuat teror mereda. Selalu muncul dan selalu muncul. Maka menurut saya, upaya yang harus lebih ditekankan adalah menggalang dialog dan komunikasi intensif antarkelompok keagamaan yang ada,” kata Eko pada Lazuardi Birru.

Selain itu, Eko berpandangan bahwa sikap represif aparat justru bisa memunculkan sikap keras yang serupa dari kelompok-kelompok keagamaan radikal. Kekerasan memancing kekerasan. “Dialog antarkelompok dalam Islam itu penting untuk membuka pintu perdamaian. Kemudian harus diciptakan situasi kondusif untuk mendorong penegakan hukum yang adil,” imbuhnya.

Kuncinya, kata Eko, tetap ada di ulama. Menurut dia, penanggulangan terlalu sulit, namun pencegahan dan tindakan preventif masih bisa dilakukan dan diusahakan.

Hal senada disampaikan Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogkayakarta, Dr. Ahmad Yani Anshori, MA. Menurut dia, tindakan preventif yang bisa dilakukan dengan upaya membangun dialog dengan new social movement (istilah Yani menyebut kelompok radikal, red) tersebut.

“Kelompok-kelompok salafi sebagai new social-relgious movement  ini tumbuh, mendidik orang, jaringan luas sampai ke luar negeri. Mereka juga punya keahlian elektroik, mengoperasikan internet dan lain sebagainya. Mereka lintas batas dalam berhubungan. Sementara mereka tidak mau mendekat dengan kiai-kiai NU atau para cendekiawan Muhammadiyah yang sudah mapan,” kata Yani pada Lazuardi Birru.

Karena itu, lanjut Yani, tindakan preventif yang bisa dilakukan adalah dengan jalan dialog. Menurut Yani, jangan sampai ulama dan cendikiawan justru menjauhi kelompok yang dianggap radikal ini. Sebab kalau kelompok ini tidak didekati dan diajak dialog, dikhawatirkan akan menimbulkan persoalan dan kekerasan.

Radikalisme dan Terorisme; Semakin Saleh Semakin Tidak Manusiawi


Apabila melihat aksi-aksi kelompok radikal atau teroris yang mengatasnamakan Islam tampaknya tidak ada rasa sesal yang menempel di wajah mereka. Bahkan tidak jarang semburat senyum dan gelak tawa terekspresikan bukti mencapai klimaks kepuasan. Sangat miris memang, di tengah tangis dan rasa sakit korban, sang radikalis atau teroris justru merasa bahagia.

Menurut cendekiawan muslim, Munir Mulkhan, rasa bahagia para radikal dan teroris ketika melangsungkan aksi kekerasan dan horornya karena melihat korban bukan sebagai manusia, melainkan iblis.

Kalau anda melihat video kasus Cikesik, saya melihat orang yang mungkin sudah mati, karena tergelak posisinya, kemudian diinjak dengan cara meloncat pula. Bahkan meloncatnya dengan teriakan “Allahu Akbar”. Mereka melihat korban sebagai representasi dari iblis” ungkap Munir Mulkhan pada Lazuardibirru.

Dalam logika berpikir kelompok Islam radikal atau teroris, Munir Mulkhan memahami bahwa semakin seorang radikalis atau teroris sadis dalam memperlakukan korbannya, seolah-olah ia merasa lebih beriman. Maka dalam kerangka berpikir radikalis dan teroris bisa disimpulkan sebuah diktum, semakin beriman/saleh, semakin sadis/ tidak manusiawi.

“Karena mindset-nya seperti itu maka bisa menjadi begitu sadisnya. Sepertinya orang Islam semacam itu merasa semakin saleh jika semakin tidak manusiawi. Jadi bagi mereka kalau sudah atas nama Tuhan, seakan yang lain tidak berarti”

Senin, 04 Februari 2013

Keterlibatan Usia Muda-Belia dalam Terorisme Bukan Barang Aneh


Keterlibatan anak-anak muda dan belia dalam kelompok terorisme telah mencengangkan banyak pihak. Cukup sulit menalar aksi bom bunuh diri yang dilakukan Dani Dwi Permana misalnya di Hotel JW Marriot. Ini karena usia muda secara umum biasanya dipahami masa-masa indah penuh dengan petualangan lucu dan konyol yang membahagiakan.

Namun menurut Dosen UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Zaki Mubarak, hal semacam ini bukan barang aneh. Menurutnya pada tahun 1980-an, Sa’dudin Ibrahim, pernah melakukan penelitian di Mesir terkait dengan fenomena teorisme Islam. Melalui penelitiannya, Sa’dudin Ibrahim menemukan bahwa rata-rata teroris yang berasal dari gerakan al jihad yang masuk penjara kebanyakan berumur 18-25 tahun.

“Jadi memang anggota terbesar dari kelompok-kelompok radikal ini adalah usia-usia muda. Usia muda ini saya kira usia yang bergolak, masih idealis. Berbeda dengan generasi tua yang cenderung dianggap konservatif” ungkap Zaki Mubarak.

Bahkan Zaki Mubarak melihat sudah ada beberapa teroris yang umurnya di 16 tahun. “Di Klaten ada yang tertangkap 5 anak muda, yang umurnya mungkin 15-17 tahun. Belum lagi yang saya tahu di Semarang, 16 tahun” tambah Zaki Mubarak.

13 Ormas Islam Serukan Jihad Melawan Narkoba, Korupsi dan Terorisme

Perwakilan 13 Ormas Islam berpose bersama usai pengukuhan LPOI
Juni 2012

Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI) menyerukan jihad melawan narkoba, korupsi, dan terorisme. LPOI terdiri dari 13 Ormas, yaitu Nahdatul Ulama, Persatuan Islam (Persis), Al Irsyad Al Islamiyah, Matlaul Anwar, Attihadiyah, Al Wasliyah, Persatuan Tarbiyah Islamiyah (Perti), IKADI, Dewan Dakwah Islamiyah, Arrabithah Al Alawiyah, Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), Azikra, Syarikat Islam Indonesia.

“Kita sepakat jihad melawan narkoba, korupsi, dan teroris-teroris karena tiga hal ini sangat menentukan nasib bangsa kita,” ujar Ketua Umum LPOI, KH. Said Aqil Siradj, di kantor Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), Jakarta, Jumat, 1 Februari 2013. Saat menyampaikan tuntutan itu hadir perwakilan dari anggota-anggota LPOI.

LPOI mendesak pemerintah segera mengeksekusi gembong narkoba yang sudah divonishukuman mati oleh pengadilan. Diharapkan tidak ada lagi peninjauan kembali yang akhirnya dapat mengurangi hukuman bagi gembong narkoba.

Said menguraikan, pihaknya memahami grasi itu hak prerogratif presiden. Meski demikian gembong narkoba kalau terus mendapat grasi atau remisi maka lambat laun bisa bebas.

Said Aqil yang juga Ketua Umum PBNU juga meminta Badan Narkotika Nasional segera mengumumkan para produsen narkotika beserta asal negaranya. Perkembangan narkoba saat ini dianggap sudah sangat mengkhawatirkan bagi kehidupan generasi muda.

“Semua sudah terperangkap ke sana. Hakim Agung ada yang narkoba, polisi ada yang narkoba, apalagi artis,” ungkap dia.

BNN dan polisi menurut Said cenderung selalu menangkap pelaku dan tidak berhasil menggulung produsennya. Oleh karena itu penegak hukum itu dituntut lebih progresif menggulung produsen barang haram itu.

Mengenai korupsi, Said Aqil meminta para penegak hukum terutama KPK agar tidak tebang pilih, tidak takut diintimidasi atau ancaman apapun. Dia juga mendesak hakim di Pengadilan Tipikor memberi hukuman seberat-beratnya kepada koruptor yang membuat bangkrut negara. Selain itu, LPOI juga meminta DPR segera merevisi UU Tipikor.

“Siapa pun yang korupsi segera ditindak oleh KPK, jangan pandang bulu. Koruptor juga harus dimiskinkan, harta hasil korupsi harus dirampas oleh Negara,” ujarnya.

Selain itu LPOI juga akan segera bekerjasama dengan BNPT untuk mencegah tumbuhnya bibit-bibit terorisme di tanah air.

Bom Rakitan Meledak di Medan


Sebuah bom rakitan meledak di Jalan Platina 1, Gang Syukur, Kelurahan Titipapan, Medan Deli, Kota Medan Sumatera Utara, Sabtu (2/2/2013) dini hari. Bom itu diduga sengaja diletakkan pihak tertentu.

Ledakan terjadi sekitar pukul 00.30 WIB. Suaranya cukup keras terdengar hingga membuat warga panik. Sejauh ini belum ada laporan mengenai korban jiwa.

Wakapolda Sumut Brigjen (Pol) Cornelis Hutagaol terlihat meninjau lokasi kejadian saat tim Jihandak Brimob Polda Sumut melakukan penyelidikan pada rangkaian bom sudah hancur.

“Nanti saja, belum ada yang bisa dijelaskan,” kata Cornelis.

Informasi menyebutkan, bom tersebut jenis low explosive. Tim Jihandak Polda Sumut menemukan empat bom yang masih utuh dari lokasi.

Keempat bom itu dipastikan rakitan dengan kemasan pipa paralon sepanjang 40 sentimeter berdiameter 4 inci. Semua bom yang belum meledak itu selanjutnya diamankan petugas menggunakan bomb basket.

Brigjen (Pol) Cornelis Hutagaol mengatakan, total ada enam bom rakitan di lokasi, dua di antaranya sudah meledak.

“Dua meledak. Posisi keenam bom itu di dalam parit yang ada airnya,” kata Cornelis.

Penyelidikan awal, bom tersebut biasanya digunakan nelayan untuk berburu ikan. Efek ledakan itu, kata Cornelis, hanya menimbulkan suara dan asap.