Kamis, 07 Juni 2012

Bersama Melawan Terorisme


Bom bunuh diri kembali mengguncang di Gereja Bethel Injil Sepenuh (GBIS), Solo (25/9/2011). Bom bunuh diri juga bergaung di Masjid Kepolisian Cirebon. Sungguh edan, tempat ibadah yang seharusnya dijaga dan dihormati dijadikan sasaran kekerasan dan antikemanusiaan. Sepertinya negeri ini sudah jadi langganan aksi kekerasan, kerusuhan, dan peledakan bom. 

Kalau akal sehat dan logika bekerja, dan pelakunya orang yang beragama, maka  semakin tidak pantas karena aksi kekerasan itu sangat bertentangan dengan nilai-nilai agama. Jika publik marah pada pelaku dan kelompok yang terus menyebarkan teror bom, tentu tidak bisa disalahkan. Makanya harus ada tindakan konkret dan secara bersama melawan aksi teroris. Bukan hanya dibebankan kepada kepolisian dan aparat keamanan lainnya, semua elemen bangsa harus menyatukan sikap dan tindakan.
Hapus Kebencian

Sikap permisif sebagian kecil warga yang memberi ruang kepada kelompok yang diduga berpotensi menebar teror, harus segera diakhiri. Tanpa mereka sadari, provokasi dengan menyebarkan pengaruh kebencian, akan terus memicu dan melahirkan bibit baru untuk melakukan aksi kekerasan. 

Bahkan, ada kesan teman seagama pun sering dicurigai sebagai seteru lantaran dianggap tidak relevan dan sejalan dengan yang mereka yakini. Jika ini terus terjadi, rasa aman kita akan selalu terancam, padahal agama selalu mengajak pada keselamatan, apalagi kalau yang dicurigai itu tidak menyerang kita. 

Ketika paham kebencian terus menguasai alam pikiran, aksi kekerasan berupa bom bunuh diri akan terus berkembang dan susah dikendalikan. Harapan banyak pengamat, agar tokoh agama dan masyarakat turun langsung melakukan pembinaan kepada anak-anak muda yang potensial terjerumus pada aliran keras untuk melakukan teror, merupakan sebuah keniscayaan. Sudah saatnya fenomena aliran keras yang tumbuh subur diarahkan ke arah yang lebih berguna bagi kehidupan umat secara damai. 

Pemerintah harus menjadi pelopor, bukan hanya dipidatokan, agar semua komponen masyarakat dan aparat negara terkait untuk duduk bersama merumuskan pemahaman agama yang benar. Masyarakat diberi pemahaman agar bisa mengidentifikasi aliran apa saja yang bisa diikuti dan yang tidak. 

Termasuk identitas kelompok yang perlu dikaji karena sadar atau tidak, pemahaman �jihad� dengan melakukan aksi bom bunuh diri cenderung berkembang memengaruhi cara berpikir sebagian anak-anak muda. Fakta menunjukkan, para pelaku bom bunuh diri berusia muda akibat alam fikirnya sudah dirusak oleh pemahaman dan reaksi jihad secara keliru.    

Kita harus yakin, jika para tokoh agama, aparat keamanan, dan pemerintah mengambil inisiatif bagaimana menafikan kebencian sekaligus meluruskan pemahaman jihad yang benar, gerakan-gerakan radikal yang mengarah pada aksi teror akan bisa dikontrol dan diminimalkan. Bahkan, bisa dihentikan karena memutus mata rantai mereka tidak selalu efektif dengan tindakan kekerasan. 

Malah bisa dibalas dengan kekerasan yang jauh lebih mengerikan. Ketegasan memang tetap dibutuhkan melalu proses hukum yang objektif dan menjatuhan pidana yang setimpal sebagai upaya penjeraan, tetapi pendekatan dan pembinaan yang sering disebut �deradikalisasi� boleh jadi akan lebih efektif. 

Aspek yang juga penting diapresiasi, adalah bagaimana menekan ketidakadilan ekonomi, sosial, pendidikan religius dan intelektual secara komprehensif bagi anak-anak muda yang merasa tidak dilirik oleh negara. Membendung faham radikalisme yang mengarah pada berkembangnya aksi terorisme, butuh keseriusan. 

Tidak boleh secara parsial, karena dipastikan akan terus kalah langkah dari pergerakan mereka. Mematahkan aksi terorisme boleh jadi akan panjang dan tiada akhir jika penanganannya tidak tepat.

Pahami Isyarat 

Aksi bunuh diri dengan menenteng bom, patut diketahui dan difahami sebagai isyarat yang dikirim oleh mereka. Operasi memburu dan menangkapi para buron teroris disadari masih menyisakan titik lemah. Celah yang tidak disadari itulah yang kemudian dimanfaatkan. Ada yang menyebut akibat lemahnya deteksi dini oleh aparat intelijen, rendahnya hukuman yang dijatuhkan, atau pembinaan deradikalisasi yang tidak tepat oleh Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).

Strategi melawan aksi teroris yang masih menonjolkan pendekatan represif bersenjata oleh Densus 88 Antiteror, boleh jadi tepat dalam kondisi tertentu. Operasi penggerebekan dan penangkapan buron teroris yang ditayangkan secara langsung oleh televisi, tentu ada manfaatnya pada situasi tertentu. 

Tetapi realitas menunjukkan, aksi bom tetap saja terjadi, yang menunjukkan bahwa perlu ada pola lain selain yang dilakukan Densus 88. Isyarat ini harus ditangkap, sebab sisi negatif dominasi pendekatan represif bisa memantik titik api kebencian dengan pola baru. 

Tersangka yang menjadi buron yang berhasil dilumpuhkan atau ditembak mati secara terbuka, bisa mereka pahami sebagai bentuk penganiayaan dan pembunuhan. Pola seperti itu dapat melahirkan rasa simpatik, bukan hanya dari kalangan mereka, mungkin saja bagi sebagian warga tertentu. Kesemuanya merupakan �isyarat� yang tidak boleh diabaikan begitu saja. 

Makanya, pendekatan �inovatif� layak dimunculkan dan secara bersama melakukan perlawanan. Objek yang akan ditangani juga perlu diperluas, tidak hanya terfokus pada mereka yang selama ini mejadi buron. Salah satunya, pendekatan kesejahteraan (ekonomi) dengan memberdayakan mereka yang dicurigai berpaham teroris.

Gagasan melawan aksi terorisme yang diawali dari penegakan hukum yang tegas, meredam akar ideologinya, kemudian melakukan pembinaan (deradikalisasi) dan menekan ketidakadilan, adalah sesuatu yang niscaya. Semua gagasan dan pendekatan harus dirangkai agar terintegrasi, dan melibatkan semua komponen masyarakat. 

Dominasi pendekatan represif tidak akan mampu menghabisi aksi teror mereka, karena terkait dengan paham dan ideologi. Apalagi jika dituding bahwa teroris terkait dengan Islam, seperti yang selama ini terjadi. Jika ini terus berkembang, terorisme tidak akan pernah tuntas dan akan terus mengancam keselamatan masyarakat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar