Rabu, 17 Oktober 2012

Teroris Itu Bughat, Tidak Bisa Ditolerir


Pasca Bom Bali 12 Oktober 2002 silam yang menewaskan 202 jiwa, pemerintah Indonesia mengeluarkan Perpu No. 1 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Terorisme. Kemudian dikukuhkan menjadi UU No. 15 Tahun 2003.

Upaya yang dilakukan oleh pemerintah tidak hanya dalam penindakan, namun juga dalam upaya pencegahan. Dalam hal ini pemerintah mencetuskan ide deradikalisasi sebagai sarana untuk melakukan upaya preventif agar tindakan terorisme di Indonesia terkikis.

Dalam upaya penindakan yang dilakukan pemerintah, upaya-upaya yang sifatnya represif tentu sering terjadi. Bahkan tidak sedikit kelompok yang menginginkan untuk menaikkan levelnya, tentunya seiring dengan langkah-langkah preventif yang juga digalakkan oleh pemerintah.

Dr. KH Abdul Malik Madaniy, MA, Katib ‘Am Pengurus Besar Nahdhatul Ulama (PBNU) mengatakan bisa saja pemerintah menaikkan levelnya dalam upaya penindakan dengan catatan berkaitan dengan efek jera dan sebagainya.

Dengan mempertimbangkan efek jera dan efektifitas suatu tindakan, Kiai Malik menilai, pemerintah wajar melakukan penindakan meskipun sifatnya represif, namun represifnya harus terukur, tidak ngawur.

“Tapi terukur dengan di back up oleh aturan perundang-undangan, kenapa tidak? Saya kira adalah suatu hal yang semestinya,” demikian Anggota Komisi Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat menjelaskan pada Lazuardi Birru.

Mantan Dekan Fakultas Syari’ah UIN Sunan Kalijaga ini mengatakan, dalam Islam pun yang namanya tindakan bagyu, orangnya yang disebut bughat, hukumannya juga keras. Menurut dia, pemerintah harus menyelamatkan bangsa yang besar ini dengan tidak mentolerir perbuatan segelintir orang yang merugikan publik seperti tindakan terorisme itu.

 “Kita harus selamatkan bangsa yang besar ini, kepentingan bangsa, kepentingan jama’ah dan umat itu harus diutamakan, harus di prioritaskan ketimbang segelintir orang tadi,” tegas Dosen Ilmu Tafisr ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar