Jumat, 11 Januari 2013

Dalam Hubungan Sosial, Dahulukan Akhlak Ketimbang Akidah


Ironi rasanya ketika mendengar terjadinya konflik bernuansa agama. Terlebih lagi terjadi antarsesama muslim. Islam yang sudah bisa dipastikan mengajarkan nilai-nilai ultim seperti kebajikan dan kebijaksanaan tiba-tiba berubah menjadi pemicu kekerasan dan konflik.

Menurut Jalaluddin Rahmat, kondisi-kondisi intoleransi, kekerasan dan bahkan konflik tersebut terjadi lantaran umat Islam lebih mendahulukan akidah daripada akhlak.

“Sekarang saya akan mengatakan saya akan mendahulukan akhlak di atas akidah saya. Bukan di atas seluruh akidah. Tetapi di atas opini saya tentang akidah. Sesungguhnya tidak ada perbedaan akidah di antara muslim. Yang berbeda adalah pendapat mereka tentang akidah” ungkap kang Jalal.

Menurut Kang Jalal akidah itu ada yang Qoth’i yang artinya setiap muslim sepakat dengan hal itu. Misalnya Allah itu esa, setiap muslim sepakat dengan hal itu, tidak ada ruang untuk perbedaan. Tetapi terkait apakah Allah itu satunya dalam sifatnya, perbuatannya atau dalam dzatnya dan perbedaan-perbedaan lainnya sebagaimana dalam kalam misalnya itu bukanlah akidah melainkan pendapat atau opini tertentu tentang akidah.

Senada dengan hal itu, cendekiawan muslim, Emha Ainun Najib juga menyatakan bahwa dalam berhubung antarsesama manusia, yang dilihat itu akhlaknya, bukan aqidahnya. Aqidah seseorang tidak bisa diukur, maka jangan suka ribut-ribut masalah aqidah. Dari seburuk-buruknya orang, kita cari baiknya. Dari sebaik-baiknya orang, jangan dicari buruknya.

“Seluruh konflik-konflik keagamaan yang ada, karena kita sibuk ngurusi aqidah orang lain. Hanya Tuhan yang tahu akidahku, masyarakat yang membutuhkan akhlakku” ungkap Cak Nun.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar