Senin, 10 September 2012

Warga Solo Membenci Kekerasan

KH. Muhammad Dian Nafi’, tokoh masyarakat kota Solo

Serangkaian aksi teror terhadap Pos Polisi dan Mapolsek di kawasan Solo, Jawa Tengah selama bulan Agustus  dan diiringi dengan baku tembak antara polisi dengan terduga teroris yang merenggut 3 korban jiwa pada awal September 2012 sangat mengejutkan warga kota Solo. Karena itu masyarakat Solo langsung bereaksi dengan menolak segala bentuk kekerasan dan menyerahkan pengusutan aksi teror tersebut kepada pihak berwajib.

KH. Muhammad Dian Nafi’, tokoh masyarakat kota Solo, menerangkan bahwa dalam rangka menyikapi serangkaian peristiwa tersebut, tokoh masyarakat dari lintas golongan dan Ormas langsung menggelar pertemuan dengan difasilitasi oleh Pemerintah Kota Surakarta.

“Tokoh masyarakat Solo sepakat tidak mengembangkan analisis yang spekulatif karena bisa memicu fitnah,” tukasnya kepada Lazuardi Birru, Senin, 3 September 2012.

Menurut Dian Nafi’, karakter dasar masyarakat Solo yang hidup dari pengembangan ekonomi kreatif –seperti industri batik— adalah antikekerasan. Karena itu, lanjutnya, arus utama Ormas di Solo adalah NU dan Muhammadiyah yang menyadari benar bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh Islam dan memberi nilai-nilai yang menyemangati orang untuk membuka ruang kreatif.

“Mainstream masyarakat Solo sangat kritis terhadap pengaitan ajaran agama dengan kekerasan. Orang Solo menyadari benar pentingnya toleransi antarumat beragama, antaretnis, antaraliran untuk memertahankan karakter dasar ekonomi kreatif itu. Mana mungkin ada ruang kreatif jika pikiran masih disibukkan oleh sesuatu yang konfliktual,” urai pengasuh Pondok Pesantren Al Muayyad Windan Surakarta itu.

Contoh lain bahwa masyarakat Solo membenci kekerasan adalah saat terjadi persinggungan antar-Ormas, maka pihak-pihak yang bertikai lebih senang jika persinggungan itu bisa dikelola dengan cara yang lebih beradab seperti diskusi dan dialog.

“Jika disinyalir ada hal-hal yang bisa meretakkan hubungan sosial, maka tidak diselesaikan dengan cara jalanan namun menjadi dinamika di mana setiap orang bisa menyuarakan pendapatnya secara lebih tenang,” ungkap mantan Ketua Umum Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kota Surakarta itu.

Dalam hematnya, masyarakat Solo memiliki energi yang tidak mudah bereaksi terhadap aksi kekerasan, terutama yang mengusung faktor-faktor agama. Pasalnya orang Solo menempatkan agama dalam ruang keheningan diri yang paling mendalam agar praktik keagamaan tidak menjadi sesuatu yang mengganggu bagi orang lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar